TEORI HERBERT SPENCER

Bookmark and Share

HERBERT SPENCER


Herbert Spencer lahir di Derby, Inggris, pada tanggal 27 April 1820. Ia tidak memperoleh pendidikan seni dan humaniora, melainkan di sekolah teknik dan utilitarian. Pada tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai insinyur teknik sipil untuk perusahaan kereta api, dan pekerjaan ini dijalaninya sampai tahun 1846. Selama masa itu, Spencer terus mempelajari bidang studinya sendiri dan mulai menerbitkan karya-karya tentang ilmu pengetahuan dan politik.
Pada tahun 1848 Spencer ditunjuk sebagai editor majalah The Economist, dan gagasan-gagasan intelektualnya mulai mengental. Pada tahun 1850, ia menyelesaikan karya utamanya, Social Statics. Selama menulis karya ini, Spencer mulai mengalami insomnia, dan setelah beberapa tahun berselang masalah mental dan fisiknya memuncak. Ia menderita serangkaian kerusakan saraf sepanjang hidupnya.
Pada tahun 1853 Spencer menerima warisan yang memungkinkannya berhenti dari pekerjaannya dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang ilmuwan bermartabat. Ia tidak pernah memperoleh ijazah universitas ataupun menduduki posisi akademis. Ketika hidup semakin terisolasi, serta sakit mental dan fisiknya makin parah, produktivitas intelektualnya meningkat. Akhirnya, Spencer tidak hanya mulai meraih ketenaran di Inggris, namun juga meraih reputasi pada tingkat internasional. Sebagaimana dikatakan Richard Hofstadter: “Selama tiga dekade setelah Perang Saudara, orang tidak mungkin aktif di arena intelektual tanpa menguasai karya Spencer” (1959: 33). Di antara pendukungnya adalah industrialis penting Andrew Carnegie, yang menulis surat berikut kepada Spencer ketika ia menderita sakit yang merenggut nyawanya pada tahun 1903:

    Untuk Guru Tercinta . . . engkau datang padaku setiap hari di dalam pikiranku, dan pertanyaan abadi “mengapa” terus mengganggu –Mengapa ia terbaring? Mengapa ia harus pergi? . . . Dunia bergerak perlahan di atas bawah sadar pikiran agungnya. . . . Namun suatu hari nanti, ia akan bangkit dengan ajaran dan menyatakan bahwa tempat Spencer ada di antara pikiran terbesar itu.
(Carnegie, dikutip dalam Peel, 1971: 2)
Namun nasib Spencer tidaklah demikian.
Salah satu ciri paling menarik Spencer, ciri yang hakikatnya menjadi sebab keruntuhan intelektualnya adalah keengganannya untuk membaca karya orang lain. Dalam hal ini, ia mirip dengan raksasa sosiologi lain, Auguste Comte, yang mempraktikan “kemurnian intelektual”. Terkait dengan kebutuhan untuk membaca karya orang lain, Spencer berkata: “Sepanjang hayat, aku adalah seorang pemikir, bukan pembaca, sehingga dapat berbicara dengan Hobbes bahwa ‘jika saja aku membaca sebanyak orang lain, maka aku tidak akan tahu sebanyak ini’” (Wiltshire, 1978: 67). Seorang kawan menanyakan pendapat Spencer tentang suatu buku, dan “jawabannya adalah bahwa ketika membaca buku ia melihat bahwa asumsi fundamentalnya salah besar, dan dengan demikian tidak ingin membacanya” (Wiltshire, 1978: 67). Seorang pengarang menulis tentang “cara tidak komprehensif Spencer dalam menyerap pengetahuan melalui kekuatan kulitnya . . . tampaknya ia tidak pernah membaca buku” (Wiltshire, 1978: 67).
Jika tidak membaca karya orang lain, lalu darimana gagasan dan pandangan Spencer berasal? Menurut Spencer, keduanya muncul secara tidak sengaja dan secara intuitif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasan-gagasannya muncul “sedikit demi sedikit, secara tak terduga, tanpa niat secara sadar atau upaya yang dapat dipahami” (Wiltshire, 1978: 66). Intuisi semacam itu diyakini Spencer jauh lebih efektif daripada studi dan pemikiran secara saksama: “Solusi yang dicapai dengan cara tersebut lebih benar daripada yang dicapai dengan upaya terukur (yang) menyebabkan pergeseran pemikiran” (Wiltshire, 1978: 66).
Spencer menderita karena keengganannya membaca secara serius karya-karya orang lain. Sebaliknya, jika ia membaca karya lain, seringkali hanya dilakukan untuk mencari penegasan atas gagasannya sendiri yang tercipta secara independen. Ia mengabaikan gagasan-gagasan yang tidak sejalan dengan gagasannya. Jadi, rekan sejawatnya, Charles Darwin, bercerita tentang Spencer: “Jika saja ia mendidik dirinya untuk meneliti lebih banyak, bahkan dengan . . . merugikan daya pikirnya sendiri, ia akan menjadi orang yang luar biasa” (Wiltshire, 1978: 70). Pengabaian Spencer terhadap aturan keilmuan membawanya ke serangkaian gagasan yang sarat kebencian dan pernyataan yang tidak berdasar tentang evolusi dunia. Oleh karena itu, sosiolog abad ke-20 mulai mencampakkan karya Spencer dan menggantikannya dengan ilmuwan yang lebih saksama dan penelitian empiris.
            Spencer meninggal pada tanggal 8 Desember 1903.
2.      Teori Evolusi Herbert Spencer (1820-1903)
            Spencer sering disamakan dengan Comte dalam arti pengaruh spencer dan Comte terhadap perkembangan teori sosiologi, namun ada beberapa perbedaan penting misalnya agak sulit menggolongkan speencer sebagai pemikir konservativ. Spencer lebih tepat dipandang beraliran politik liberal dan ia tetap memelihara unsur-unsur liberalisme disepanjang hidup. Kekhasan Spencer sebagai seorang Darwinis Sosial, ia menganut pandangan evolusi yang berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang makin baik dan karena itulah kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri, lepas dari campur tangan yang hanya akan memperburuk keadaan. Spencer menerima pandangan bahwa institusi sosial , sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, maupun beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Spencer juga menerima pandangan darwinian bahwa proses seleksi alamiah, “survival of the fittes” juga terjadi dalam kehidupan sosial.
Teori Evolusi adalah kemungkinan untuk mengidentifikasi dua perspektif evolusioner utama dalam karya Spencer. Pertama, teorinya terutama berkaitan dengan peningkatan ukuran masyarakat. Masyarakat tumbuh melalui perkembangan individu dan penyatuan kelompok-kelompok. Peningkatan ukuran masyarakat menyebabkan struktur makin luas dan makin terdiferensiasi serta meninngkatan diferensiasi fungsi yang dilakukannya. Disamping pertumbuhan ukurannya, masyarakat berubah melalui penggabungan, yakni makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dengan demikian Spencer berbicara tentang gerak evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke penggabungan dua kali lipat dan penggabungan tiga kali lipat.
Spencer juga menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri. Yang pada mulanya, masyarakat militan dijelaskan sebagai masyarakat yang tersrtuktur guna melakukan perang. Walaupun Spencer melihat Evolusi umum yang mengarah kepada pembentukan masyarakat industri, akan tetapi ia juga mengakui adanya kemunduran periodik kepada masyarakat yang lebih agresif dan militan. Dalam tulisannya mengenai etika politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusi sosial yang lain. Disuatu sisi Spencer memandang  masyarakat berkembang menuju ke keadaan moral paling ideal atau sempurna. Disisi lain Spencer mengemukakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkunganlah yang akan bertahan hidup, sedangkan masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya. Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat secara keseluruhan.
Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme yang berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tanggung jawab anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum. Latar belakang dari adanya gerak evolusi ini ialah lemahnya semua benda yang serba sama. Misalnya, dalam keadaan sendirian atau sebagai perorangan saja manusia tidak mungkin bertahan. Maka ia merasa diri didorong dari dalam untuk bergabung dengan orang lain, supaya dengan berbuat demikian ia akan dapat melengkapi kekurangannya.
Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:
a)      Tahap penggandaan atau pertambahan
Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde social dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah


b)      Tahap kompleksifikasi
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.
c)      Tahap Pembagian atau Diferensiasi
Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan social (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas social.
d)      Tahap pengintegrasian
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negative ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia.


Lahirnya Darwinisme Sosial
 Pada tahun 1859 Charles Darwin (1809 – 1882) menerbitkan buku yang berjudul On the Origin of Species, atau the Preservation of Favoured Races in the Struggle for  Life yang membahas proses evolusi organism-organisme fisik. Konsep-konsep yang amat berpengaruh atas Darwinisme Sosial.
Pandangan Herbert Spencer dalam evolusi sosial terkenal dengan sebutan Darwinisme Sosial atau Social Darwinism. Herbert Spencer melihat ada kesamaan dalam teori evolusi darwin maka kadang manusia disebutnya sebagai organisme. Darwinisme Sosial menggambarkan bahwa perubahan dalam masyarakat berlangsung secara evolusioner (lama) yang dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak dapat diubah oleh perilaku manusia
Darwinisme Sosial dapat digolongkan ke dalam empat kelas, yaitu teori naluri, teori ras, teori determinisme, dan teori evolusi.
1.      Teori naluri
Menurut teori ini, kesatuan masyarakat dan koherensinya disebabkan oleh suatu kecenderungan biologis didalam diri manusia, yaitu suatu naluri social yang disebut herd instinct atau gregarious instinct (naluri kelompok) yang membuat manusai mengakui dan menyukai teman-teman sesama. Struggle for life senantiasa menonjol. Ia merasa diri mereka terancam oleh orang lain yang hendak memakai dia demi bisa bertahan hidup. Keadaan ini telah menyebabkan bahwa oleh alam sendiri membentuk badan fisik dan badan sosial.
2.       Teori Ras
Ludwig Gumplowicz (1838-1909), kelahiran Polandia dan merupakan seorang Yahudi yang dibesarkan dalam kancah dan suasana konflik antara golongan. Teorinya adalah teori perang, ia yakin bahwa telah menemukan didalam Darwinisme yang menyikap seluruh sejarah. Darwin telah membuktikan adanya evolusi biologis yang melalui tahap-tahap seleksi dan adaptasi. Teori ini diterapkan Gumplowicz pada sejarah yang sejarah adalah proses seleksi yang terus menerus, dimana golongan yang palig sehat dan kuat pada akhirnya selalu menang.
Negara-negara modern didirikan atas dasar bahasa dan agama. Jadi yang disebut bangsa merupakan kesatuan budaya, hal ini tidak terlalu konsisten dengan teorinya yang menerangkan kehidupan merupakan hasil hokum alam yaitu hasil konfrontasi. Jadi kita dapat menarik kesimpulan pada akhir hidup Gumplowicz pada akhirnya sedikit memperbaiki pandangan masyarakat yang Darwinistis dan telah mulai merintis suatu pandangan yang bercirikan budaya.
3.      Teori Determinisme
Diantara banyak teori monokausal yang bermaksud untuk mengembalikan seluruh kehidupan social kepada suatu faktor penyebab, teori determinisme Frederic Le Play (1806-1882) pantas kita perhatikan. Le Play kelahiran perancis dan seoarang insinyur pertambangan, sejak masa mudanya menaruh minat besar terhadap masalah adat dan nilai-nilai budaya terdisional. Sama seperti Comte, ia juga menginginkan memulihkan keadaan ketertiban dalam negerinya. Namun ia menghadapi masalah bagaimana cara mengembalikan orang-orang merasa aman., sama seperti Comte ia berpendapat jawaban atas masalah itu adalah menyakut keluarga. Struktur keluarga dan pola relasi-relasi kekeluargaan lagsung menentukan apakah masyarakat terdiri bukan dari individu-individu melainkan dari keluarga-keluarga.
Ia membedakan tiga tipe keluarga yang bersifat dasar. Pertama tipe famili patriarkal yang kokoh dan fungsional bagi masyarakat-masyarkat pengembala. Tipe Kedua ialah famili tidak stabil yang mirip dengan keluarga yang sekarang disebut keluarga inti. Tipe ini agak goyah karena kurang berdaya dalam menghadap kesulitan ekonomi. Umumnya tipe ini dijumpai dikalangan kaum buruh industry tetapi juga dikalangan kelas tinggi sebagai akibat hokum waris. Tipe ketiga yang disebut family pangkal ( stem family atau famille souche) merupakan semacam keluraga patriarchal dimana hanya ada satu orang ahli waris yang tinggal menetap di rumahyang lain menerima mas kawin supaya dapat menetap ditempat lain. Namun demikian bagi mereka juga rumah orang tua merupakan pusat seremonial atau rumah adat, dimana mereka berkumpul pada kesempatan tertentu.
4. Teori-teori evolusi
    Terlebih dahulu kita harus membedakan konsep-konsep evolusi , pembangunan (development), dan kemajuan (progress) . Kalau kata memakai konsep evolusi , kita menoleh ke belakang, yaitu ke suatu keadaan dahulu, lalu menelusuri tahap-tahap pendahuluan yang telah dilalui sebelum sampai kepada keadaan sekarang.
      Di bawah ini kita akan meninjau tiga teori evolusi dari abad lampau, yaitu evolusionisme, involusionisme, dan teori sinkretistis.

a.      Evolusionisme
     Dalam arti kata yang sempit evolusionisme berarti proses peningkatan ke arah tercapainya keadaan yang lebih sempurna. Istilahnya mengungkapkan nada harapan dan optimisme. Sebagai contoh kami menyebut nama Leonard T. Hobhouse (1864-1929). Ia telah mengarang antara lain Mind and Evolution. Morals and Evolution (1906) dan Social Development (1924). Dari segi Sosiologi buku terakhir ini penting. Ia menolak teori evolusi ekstrem yang langsung menerapkan konsep-konsep Darwin. Ia berpendapat bahwa teori evolusi yang ekstrem tidak mungkin menghasilkan pengertian baik tentang masyarakat. Sebaliknya pengertian dikaburkan! Itu sebabnya Hobhouse mencoba untuk menyususn sejumlah ukuran atau indicator obyektif bagi evolsi suatu masyarakat.

b.      Involusionisme
     Kata ”involusi” berarti kemunduran. Jadi Involusionisme adalah ajaran, bahwa manusia mengalami kemunduran. Caranya ia memecahkan masalah kehidupan dan kebudayaannya tidak senantiasa menunjukan kemajuan yang teru-menerus.
Sosiolog Prancis, yang bernama Vacher de Lapouge, dalam bukunya Les Selections Sociales mengatakan, bahwa proses pembudayaan semakin menjauhkan dan mengasingkan manusia dari alam. Terpengaruh oleh Rousseau dan pengikutnya dari zaman Romantik dan program mereka berupa “kembalilah kepada alam!” ia mengajar bahwa alam berarti “evolusi’ , sedangkan kebudayaan berarti “involusi”. Pada pokoknya tiap-tiap kebudayaan bersifat antisosial. Kebudayaan tidak mengejewantahkan sosialitas manusia dan tidak merupakan tanda kebebasannya dan kehormatannya. Sebaliknya, kebudayaan menghambat dan merusak tiap-tiap evolusi dan perkembangan yang sejati.

c.       Teori-teori sinkretistis
Nicholas Danilevski (1822-1885), seorang Rusia, pada tahun 1869 menerbitkan buku yang berjudul Russia dan Europa. Ia menyebut tiga peradaban besar dalam sejarah dunia, yang masing-masing pernah mempunyai riwayat hidup yang kuranglebih sama dengan hidupnya organisme, yaitu masa muda, masa dewasa, dan masa runtuh. Tiap-tiap perbedaan mengembangkan ciri-cirinya yang unik dan istimewa di waktu mereka dewasa. Misalnya, masyarakat Yunani menjadi unik di bidang kesenian dan filsafat, masyarakat Romawi di bidang hukum dan organisasi politik.

Dengan menggunakan teori evolusi Darwin, Herbert Spencer mengembangakan teori evolusi sosial, dimana di dalamnya semua masyarakat secara alami mengalami perubahan menuju bentuk superior (Spencer, 1891). Dari sudut pandang ini, perubahan sosial adalah unilinear , di mana maksudnya adalah semua masyarakat pasti akan melalui suatu tahap yang dapat diperkirakan, yaitu dari primitif menjadi beradab, sederhana menjadi kompleks, atau dari “ inferior ” menjadi “ superior ”.
•    Disini Spencer menggambarkan teori ini lewat lingkungan, dimana ia tinggal, yaitu di Inggris. Jadi, pada dasarnya manusia, masyarakat, dan kebudayaan mengalami perkembangan yang lambat mengikuti garis lurus ( linear) yang digambarkan lewat bagan berikut.
•    Masyarakat dan kebudayaan berkembang mengikuti garis lurus.
•    Masyarakat berkembang dari tahap sederhana ke tahap kompleks
            Jadi Spencer mengemukakan seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Mula-mula gagasannya menikmati sukses besar, tetapi kemudian ditolak selama beberapa tahun, dan baru berkembang belakangan ini telah hidup kembali dengan munculnya teori sosiologi neo-evolusi.
Reaksi menentang Spencer di Inggris, meskipun penekanannya pada individu, Spencer sangat terkenal karena teori evolisi sosialnya yang bersekala luas. Teori ini sebenarnya bertolak belakang dengan teori sosiologi yang mendahuluinya di Inggris. Namun reaksi menentang Spencer lebih berdasarkan bahwa gagasan suvival of the fittes berlawanan dengan ameliorisme. Jadi Spencer merugikan sebagian sosiolog Inggris awal. Spencer mengajukan filsafat survival of the fittes dan menentang campur tangan pemerintah dan reformasi sosial.
Menurut Spencer, harus ada suatu hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda-beda di dalam proses evolusioner tersebut. Dan hukum itu adalah pernyataan bahwa hilangnya sesuatu gerakan biasanya diikuti oleh tujuan gerakan itu sendiri dan akan munculnya suatu disintegrasi dari keadaan tersebut, adanya evolusi selalu diikuti oleh disolusi. Evolusi  yang sederhana  hanaylah merupakan suatu gerak yang hilang dan merupakan suatu redistribusi dari keadaan. Evolusi itu sendiri terjadi dimana -mana dalam bentuk inorganik seperti astronomi dan geologi : kehidupan organik seperti biologi dan psikologi serta kehidupan superorganik seperti sosiologi. Spencer menajukan 4 pokok penting tentang sistem evolusi umum yaitu :
1.    ketidakstabilan yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar dan akan kehilangan kehomogenitasanya karena kejadian setiap insiden tidak sama besar.
2.    Berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris. Berkembangnya bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan saja, yaitu suatu keadaan yang seimbang yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang lainnya.
3.    Kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan.
4.    Adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatau keseimbngan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi didalam bentuknya yang paling kompleks. Evolusi ini adalah merupakan evolusi superorganisyang termasuk semua proses dan produk tindakan yang dilakukan oleh individu-indvidu . Spencer akhirnya menyimpulkan bahwa masyarakat itu tlah berkembng menjadi lebih luas, berhubungan-hubungan, banyak bentuknya. Dengan berkembangnya masyarakat dalam artian umum, maka masyarakat menunjukan integrasi baik dengan massa yang bertambah secara sederhana maupun dengan cara koalisi dan rekoalisi massa. contoh secara luas yaitu Perubahan dari homogenitas menuju ke heterogenitas : mulai dari suku yang paling sederhana sampai pada bangsa yang beradab yang penuh dengan fungsi dan struktur. Dengan majunya integrasi dan heterogenitas maka meningkatlah perhubungan masyarakat tersebut. Kelompok masyarakat yang hidup mengembara mulai punah, terbagi-bagi menjadi kesatuan kecil yang tidak mempunyai kelompok, suku dengan bagian-bagiannya membuat persekutuan yang lebih kuat dengan cara mengabdikan dirinya pada seseorang pimpinan yang dominan, kelompok-kelompok suku bergabung menjadi satu dalam suatu jalinan politik dibawah seorang pimpinan dan sub pimpinan dan selanjutnya sampai pada suatu bangsa yang beradab mengadakan konsolidasi bersama-sama.
            Secara garis besar pandangan dan tujuan sosiologi Spencer ditandai oleh adanya kesatuan dan pertautan sebagai seorang filosof yang benar-benar ingin membuat suatu ilmu masyarakat. Spencer menekankan pandangannya pada sifat superorganis masyarakat, namun pandangan individualistis yang berat sebelah itu menolak atau berlawanan terhadap adanya unit masa sebagai individu yang ada dalam masyarakat. Spenccer melihat dengan jelas adanya ketergatungan sosiolgi terhadap psikologi dan juga sosiologi terhadap sejarah. Spencer adalah orang yang pertama kali menujukan akan pentingnya psikologi komparatif  ini. Tidak seperti para sosiolog sebelumnya, Spencer tidak menggunakan istilaah masyarakat sebagai suatu yang tidak mempunyai bentuk, namun Spencer membicarakan mengenai masyarakat -masyarakat. Spencer membuat kerangka klasifikasi mengenai masyarakat-masyarakat an suatu morfologi sosial yang benar-benar amat berguna bagi sosiologi ilmiah.  Evolusi sosial dan kemajuan sosial akan menjadi lebih cerah lagi setelah melewati jamannya. Hal ini memerlukan modifikasi dan kualifikasi, namun kesemuanya itu merupakan titik tolak untuk lebih dapat memahami studi evolusi sosial dan kemajuan sosial.
Tidak ragu lagi bahwa satu-satunya sumbangan yang paling penting Spencer adalah pengenalannya mengenai evolusi kehidupan sosial. Konsep mengenai kesinambungan perkembangan  dalam kehidupan sosial melalui integrasi dan deferensiasi yang akan memacu klasifikasi masyarakat dan organisasi sosial. Semua proses konflik menjadi penting di dalam evolusi sosial, proses tersebut terjadi melalui kegiatan individu serta kelompok, karena manusia mempunyai purposive adaptation yang dianggapbpaling cocok untuk dapat hidup terus di dalam lingkungannya.
            Model Spencer
            Evolusi sosial dengan kata lain perubahan sosial yang berlangsung secara perlahan-lahan dan kumulatif(evolusi bukanya revolusi ), dan perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen bukan eksogen). Proses endogen ini sering digambarkan dalam arti diferensiasi struktural, atau dengan kata lain suatu perubahan dari sederhana, tidak terspesialisasi dan informal ke kompleks, terspesialisasi dan formal, atau menurut ungkapan Spencer sendiri, perubahan dari homogenitas yang tidak koheren ke heterogenitas koheren. Hasil dari model Spencer adalah model modernisasi, dimana proses peruabhan dipandang secara esensial sebagai suatu perkembngan dari dalam, dan luar dunia luar hanya berperan sebagai pemberi rangsangan untuk adaptasi. Masyarakat tradisional dan masyarakat modern ditampilkan sebagai tipe-tipe antitesis berikut:
1.      Hierarki sosial tradisional adalah berdasarkan pada kelahiran( ascription) dan mobilitas sosialnya rendah. Sebaliknya, hierarki modern adalah berdasarkan presenatsi dan mobilitas sosialnya tinggi. Masyarakat “estates” telah digantikan oleh masyarakat yang terdiri atas kelas-kelas, yang lebih besar persamaan kesempatannya. Selain itu, dalam masyarakat tradisional, unit dasarnya adalah kelompok kecil dimana setiap orang saling kenal, yang oleh ferdinand tonnies disebut komunitas ( gemeinschaft). Setelah adanya konsep modernsasi, inti dasarnya adalah masyarakat luas yang impersonal (gesellschaft).
2.      Modus-modus antitesis organisasin sosial ini berkaitan dengan sikap-sikap antitesis, sikap untuk berubah misalnya, didalam masyarakat tradis ional, yang perubahannya lambat, orang-orang cenderung tidak suka perubahan atau tidak tahu telah terjadi perubahan. Pihak lain, para anggota masyarakat modern, dimana perubahan berlangsung cepat dan konstan, sangat menyadari, mengharapkan, dan menyetujui perubahan. Sejak abad ke-18 (dikalangan elite Eropa Barat ), orang-orang telah menganggap masa depan bukan sebagai reproduksi masa kini saja melainkan sebagai tempat bagi pengembangan proyek-proyek dan kecenderungan-kecenderungan (trends).
3.      Tentang pertentangan-pertentangan mendasar tersebut, masih bisa ditambahkan beberapa lagi. Budaya masyarakat tradisional sering dikatakan religius, magis dan bahkan tidak rasional, sementara budaya masyarakat modern dianggap sekuler, rasional dan ilmiah.
            Kesejajaran model perubahan sosiokultural dengan model pertumbuhan dan mmodel pembangunan politik mungkin cukup jelas. Misalnya,para ahli teori pertumbuhan ekonomi telah menekankan konsep tinggal landas dari masarakat praindustri yang dipandang statis ke masyarakat industri yang selalu mengalami pertumbuhan. Kepentingan bersamapun terhimpun, seperti sediakala, menjadi kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan struktur kelembagaan. Para ahli teori sosial semakin merasa tidak nyaman dengan asumsi-asumsi yang mendasari model tersebut, terutama mengenai triumfalismenya (sikap berpuas diri karena merasa hebat) dan asumsinya tentang teleologi (pandangan bahwa feomena terjadi karena adanya mekanisme sebab akibat dan tujuan akhir). Bahkan dalam bidang sejarah ekonomi, konsep kemajuan ke arah masyarakat yang lebih makmur pun telah mendapat tantangan, dan sebagai alternatifnya diusulkan model ekologis pada hakikatnya adalah suatu reaksi terhadap habisnya sumber daya tertentu sehingga muncul kebutuhan untuk menemukan substitusinya. Gagasan merupakan keharusan, setidak-tidaknya berpeluang untuk saling susul satu sama lain, bukanlah sesuatu yang mesti ditolak oleh para sejarahwan. Gagasan tentang evolusi yang digelembungkan oleh Darwin juga tidak untuk dibuang sedikitpun. W.G.Runciman telah mengatakan bahwa proses evolusi masyarakat adalah analog dengan seleksi alam, meski sama sekali tidak sama dengan seleksi alam tersebut, proses menekankan pada apa yang ia namakan seleksi kompetitif atas kebiasaan-kebiasaan. Ilustrasi menarik lainnya tentang kelbihan-kelebihan model Spencer adalah kajian Joseph Lee tentang masyarakat Irlandia sejak Bencana Kelaparan Besar tahun 1840an.  Studinya itu disusun diseputar konsep organisasi. Untuk ilustrasi lain tentang kelebihan-kelebihan model tersebut  dapat dilihat pada kasus Jerman : para sejarawan yang berbeda-beda pendekatannya terhadap masa lampau seperti, Thomas Nipperdey dan Hans Ulrich Wehler, telah membahas perubahab-perubahan yang terjadi pada masyarakat Jerman sejak akhir adan ke-18 dari konteks modernisasi. Tentang Wehler, sumbangan kepada teori adalah konsep modernisasi defenif yang katanya merupakan reformasi yang terjadi di Prusia dan negara-negara bagian lain di Jerman antara tahun1789 dan tahun 1815. Menurut Wehler reformasi kaum petani, pegawai pemerintah dan militer adalah respons terhdap apa yang disangka oleh kelas penguasa sebagai ancaman yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis dan Napoleon. Gerakan Reformasi yang bermunculan pada abad ke-19, misalnya Angkatan Muda Turki di Kerajaan Ottoman atau Restorasi Meiji di Jepang, dapat dilihat sebagai tanggapan terhadap ancaman dari kebangkitan bangsa Barat. Kelemahan-kelemahan teori, karena dibuat dinegara-negara yang sedang dalam proses industrialisasi di akhir abad ke-19, pada tahun 1950-an model Spencer itu dikembangkan lebih lanjut untuk menjelaskan perubahan di Negara Ketiga(negara-negara terbelakang).
            Ada 3 macam kekurangyakinan yang dikemukakan mengenai arah perubahan sosial, penjelasan-penjelasannya dan mekanismenya :
1.      Dengan memperluas waawasan hingga mencapai satu-dua abad yang lampau maka akan jelas bahwa perubahan bukanlah satu garis lurus (unilinier), dan sejarah bukanlah jalan satu arah. Dengan kata lain, masyarakat tidak selalu bergerak ke arah peningkatan sentralisasi, komplektisitas, spesialisasi dan sebagainya. Istilah  “modernisasi” sendiri mengesankan suatu proses yang linear. Meskipun begitu, para ahli sejarah intelektual tahu benar bahwa kata modern yang cukup ironis memang, telah digunakan sejak Aabad pertengahan di lain abad lain pula maknanya. Kesulitan dengan modernitas adalah modernitas itu terus berubah. Akibatnya, para sejarawan terpaksa membuat istilah awal modern, yang kata-katanya saling bertentangan, untuk menyebut periode antara akhir Abad Pertengahan dan awal revolusi industri. Karena alasan yang sama, sejumlah analis masyarakat kontemporer lalu telah pula menciptakan istilah pasca industri, akhir kapitalis, dan bahkan  pasca modern untuk melukiskan masyarakat.
2.      Para sejarawan meragukan penjelasan tentan perubahan sosial yang dibangun dalam model Spencer , asumsi bahwa perubahan pada dasarnya bersifat internal bagi sisitem sosial, yang berupa pengembangan potensi, bertumbuhnya cabang-cabang. Hal ini baru bisa terjadi bila suatu masyarakat diidolasikan dari masyarakat-masyarakat lain d dunia, padahal dalam pratiknya perubahan sosial diakibatkan oleh salling bertemunya kebudayaan-kebudayaan.  Dengan adanya dampak dahsyat kekuatan eksternal di luar masyarakat yang sedang dikaji maka tidak tepat jika kasus-kasus itu dibicarakan hanya dari perspektif stimulus ke adaptasi, yang menurut model Spencer merupakan satu-satunya fungsi yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal.
Apabila ingin mengetahui mengapa perubahan sosial terjadi, strategi yang baik untuk memulai adalah dengan mengamati bagaimana perubahan itu terjadi. Sayangnya, model Spencer tidak punya banyak referensi tenatang mekanisme perubahan. Kurangnya referensi ini mengakibatkan salahnya asumsi tentang unilinearitas dan memberi kesan bahwa proses perubahan tampak seolah-olah berjaan mulus dan mengikuti tahapan-tahapan yang hampir otomatis, seolah-olah satu-satunya hal yang harus dilakukan oleh suatu masyrakat adalah tinggal menaiki eskalator (mengikuti tahap-tahap). Salah satu contoh eksplisit yang tidak lazim tentang apa yang disebut model eskalator itu adalah kajian Rostow mengenai tahap-tahap pertumbuhan ekonomi, yang bermula dari tahap masyarakat tradisional lalu tahap tinggal landas akhirnya tahap konsumsi masal. Untuk pendekatan yang berlawanan dengan itu, dapat dilihat pandangan ahli sejarah ekonomi Alexander Gershenkron yang beragumen bahwa negara-negara yang agak telat melakukan industrialisasi, terutama Britania























TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL
Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Adapun teori-teori yang menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah sebagai berikut.
1. Teori Evolusi ( Evolution Theory )
Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.
a. Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer.
b. Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.
c. Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat.
b. Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.
c. Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.
Padahal perubahan merupakan sesuatu yang bersifat terusmenerus sepanjang manusia melakukan interaksi dan sosialisasi.
2. Teori Konflik ( Conflict Theory )
Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat.
Teori ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitikberatkan pada hal berikut ini.
a. Setiap masyarakat terus-menerus berubah.
b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.
c. Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.
d. Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.
3. Teori Fungsionalis ( Functionalist Theory )
Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag .
Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.
Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut.
a. Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.
b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
c. Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
d. Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.
4. Teori Siklis ( Cyclical Theory )
Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya. Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.
Sementara itu, beberapa bentuk Teori Siklis adalah sebagai berikut.
a. Teori Oswald Spengler (1880-1936)
Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Pentahapan tersebut oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.
b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)
Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.
1) Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
2) Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.
3) Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
c. Teori Arnold Toynbee (1889-1975)
Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah mengalami kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ke tahap kepunahannya.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar