makalah hama dan penyakit tanaman kehutanan

Bookmark and Share

PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
            Pembangunan kehutanan yang saat ini dikembangkan lebih mengarah kepada hutan tanaman dengan sistem monokultur. Salah satu dampak negatif dari sistem monokultur adalah kerentanan terhadap hama dan penyakit, hal ini terjadi karena sumber pakan tersedia dengan melimpah dan dalam wilayah yang luas.
            Serangan hama dan penyakit jika tidak dikelola dengan tepat maka akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem. Selain dari itu, serangan hama dan penyakit berdampak pada prokduktifitas dan kualitas standing stock yang ada. Diantaranya adalah menurunkan rata-rata pertumbuhan, kualitas kayu, menurunkan daya kecambah biji dan pada dampak yang besar akan mempengaruhi pada kenampakan estetika hutan.
            Seiring dengan permintaan pasar internasional, pengelola hutan dituntut untuk menghasilkan produk hutan yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari telah dirumuskan oleh sebuah lembaga internasional Forest Stewardship Council(FSC) yang lebih dikenal dengan Prinsip dan Kriteria (P & C FSC).
Prinsip dan Kriteria Pengelolaan Hutan Lestari standar FSC terdiri dari :
Prinsip 1. Ketaatan pada hukum dan prinsip-prinsip FSC
Prinsip 2. Tenure, hak guna dan tanggung jawab
Prinsip 3. Hak masyarakat adat
Prinsip 4. Hubungan masyarakat dan hak-hak pekerja
Prinsip 5. Manfaat dari hutan
Prinsip 6. Dampak lingkungan
Prinsip 7. Rencana pengelolaan
Prinsip 8. Monitoring dan evaluasi
Prinsip 9. Hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF)
Prinsip 10. Hutan tanaman
Dari 10 prinsip tersebut, pengelolaan hama dan penyakit secara detail disyaratkan pada Prinsip 6 kriteria 6 :
”Sistem pengelolaan harus mendukung perkembangan dan adopsi metode non kimia yang ramah lingkungan dalam pengelolaan pestisida dan berusaha untuk mencegah penggunaan pestisida kimia. Pestisida hidrokarbon khlorin Tipe 1A dan 1B menurut WHO; pestisida tetap, beracun atau yang bahan aktif biologisnya tetap ada dan terakumulasi dalam makanan diluar penggunaan normalnya; sama halnya dengan pestisida yang dilarang menurut kesepakatan internasional, harus dilarang penggunaanya. Jika bahan-bahan kimia ini digunakan, peralatan yang layak dan pelatihan harus disediakan untuk meminimalisir risiko kesehatan dan lingkungan”
Prinsip 10 kriteria 7 :
”Langkah-langkah harus diambil guna mencegah dan menekan mewabahnya hama, penyakit, kebakaran dan masuknya tanaman pengganggu. Pengelolalan hama terpadu harus menjadi bagian penting dari rencana pengelolaan, dengan lebih mengandalkan pada pencegahan dan metode-metode kendali biologis daripada pupuk dan pestisida kimia. Pengelolaan penanaman harus melakukan segala cara untuk beralih dari pupuk dan pestisida kimia termasuk pemakaiannya dalam pembibitan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengelola hutan dituntut harus bisa mengelola hama dan penyakit tanaman dengan pendekatan sistem pengendalian hama dan penyakit secara terpadu yang efektif dan efisien.
  1. Tujuan
Pengelolaan pengendalian hama dan penyakit tanaman ini bertujuan untuk :
1.      Melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit
2.      Mengurangi kerusakan/kerugian yang ditimbulkan akibat serangan hama dan penyakit
3.      Menjaga keseimbangan ekosistem di hutan yang masing-masing unsur lingkungan saling mendukung bagi pertumbuhan tanaman
  1. Kegunaan
Pengelolaan pengendalian hama dan penyakit tanaman ini dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan montoring, identifikasi, pencegahan, dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman serta tindakan perbaikan pasca pemberantasan.

HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KEHUTANAN

A.     Hama dan Penyakit Tanaman Jati
Hama dan penyakit pada tanaman jati yang teridentifikasi dan terdokumentasi di hutan tanaman jati seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis hama dan penyakit pada tanaman jati
No
Jenis Hama
Nama Umum Hama
Bagian Tanaman Yang diserang
Lokasi
1
Duomitus ceramicus
Oleng-oleng
Batang
Lapangan
2
Neotermes tectonae
Inger-inger
Batang

3
Hyblaea puera
Ulat jati
Daun
Lapangan
4
Pyrausta machaeralis
Ulat jati
Daun
Persemaian, lapangan
5
Phyllophaga sp
Uret
Akar
Persemaian, lapangan
6
Acarina sp.
Tungau merah
Daun
Persemaian
7
Kutu putih/lilin

Daun/pucuk
Persemaian
8
Lalat Putih

Batang
Persemaian
9
Dumping off
Penyakit layu/busuk semai
Leher akar
Persemaian
10
Rayap

Akar
Lapangan
11
Penggerek pucuk jati

Pucuk
Lapangan
12
 Pseudococcus
Kutu putih/sisik
Daun dan batang
Lapangan
13
 Peloncat Flatid Putih
Kupu putih
Daun dan batang
Lapangan
14
Xyleborus destruens
Kumbang bubuk basah
Batang
Lapangan
15
Pseudomonas tectonae
Penyakit layu bakteri
Batang
Lapangan
16
Loranthus Sp.
Benalu
Batang
Lapangan






1.      Hama ulat jati  (Hyblaea puera & Pyrausta machaeralis)
Hama ini menyerang pada awal musim penghujan, yaitu sekitar bulan Nopember – Januari. Daun-daun yang terserang berlubang-lubang dimakan ulat. Bila ulat tidak banyak cukup diambil dan dimatikan. Bila tingkat serangan sudah tinggi, maka perlu dilakukan pengendalian dengan cara penyemprotan menggunakan insektisida.
2.      Hama Uret (Phyllophaga sp)
Hama ini biasanya menyerang pada bulan Pebruari – April. Uret merupakan larva dari kumbang. Larva ini aktif memakan akar tanaman baik tanaman kehutanan (tanaman pokok dan sela) maupun tanaman tumpangsari (padi, palawija, dll) terutama yang masih muda, sehingga tanaman yang terserang tiba-tiba layu, berhenti tumbuh kemudian mati. Jika media dibongkar akar tanaman terputus/rusak dan dapat dijumpai hama uret.
Kerusakan dan kerugian paling besar akibat serangan hama uret terutama terjadi pada tanaman umur 1-2 bulan di lapangan, tanaman menjadi mati. Serangan hama uret di lapangan berfluktuasi dari tahun ke tahun, umumnya bilamana kasus-kasus serangan hama uret  tinggi pada suatu tahun, maka pada tahun berikutnya kasus-kasus kerusakan/serangan menurun.
Pengendalian
a.       Kasus-kasus serangan hama uret umumnya menonjol pada lokasi-lokasi dengan  jenis tanah berpasir (regosol)
b.      Pencegahan dan pengendalian hama uret dilakukan dengan penambahan insektisida-nematisida granuler (G) di lubang tanam pada saat penanaman tanaman atau pada waktu pencampuran media di persemaian, khususnya pada lokasi-lokasi endemik/rawan hama uret. 
c.       Untuk efektivitas dan efisiensi langkah pengendalian, informasi tentang fluktuasi serangan hama uret dari tahun ke tahun perlu dimiliki pengelola lapangan. Ini penting untuk menentukan perlu tidaknya memberikan tindakan pencegahan/ pengendalian pada suatu penanaman pada suatu waktu.
3.      Hama Tungau Merah (Akarina)
         Hama ini biasanya menyerang pada bulan Juni – Agustus. Gejala yang timbul berupa daun berwarna kuning pucat, pertumbuhan bibit terhambat. Hal ini terjadi diakibatkan oleh cairan dari tanaman/terutama pada daun dihisap oleh tungau. Bila diamati secara teliti, di bawah permukaan daun ada tungau berwarna merah cukup banyak (ukuran ± 0,5 mm) dan terdapat benang-benang halus seperti sarang laba-laba. Pengendalian hama tungau dapat dilakukan dengan menggunakan akarisida.
4.      Hama kutu putih/kutu lilin
Hama ini biasa menyerang setiap saat. Bagian tanaman yang diserang adalah pucuk (jaringan meristematis). Pucuk daun yang terserang menjadi keriting sehingga tumbuh abnormal dan terdapat kutu berwarna putih berukuran kecil. Langkah awal pengendalian berupa pemisahan bibit yang sakit dengan yang sehat karena bisa menular. Bila batang sudah mengkayu, batang dapat dipotong 0,5 – 1 cm di atas permukaan media; pucuk yang sakit dibuang/dimusnahkan. Jika serangan sudah parah dan dalam skala yang luas maka dapat dilakukan penyemprotan dengan menggunakan akarisida.
5.      Hama Lalat Putih
         Hama lalat putih merupakan serangga kecil bertubuh lunak. Lalat putih ini bukan lalat sejati, tetapi masuk dalam Ordo Homoptera. Hama ini berkembang sangat cepat secara eksponensial. Lalat putih betina dapat menghasilkan 150 – 300 telur sepanjang hidupnya. Waktu yang dibutuhkan dari tingkat telur sampai dengan dewasa siap bertelur hanya sekitar 16 hari. Lalat putih dapat menyebabkan luka yang serius pada tanaman dengan mencucuk mengisap cairan tanaman sehingga menyebabkan layu, kerdil, atau bahkan mati. Lalat putih dewasa dapat juga mentransmisikan beberapa virus dari tanaman sakit ke tanaman sehat.
         Lalat putih sering sangat sulit dikendalikan. Lokasi hama yang berada di permukaan bawah daun membuatnya sulit bagi insektisida untuk mencapai posisi hama. Hama lalat putih juga dengan cepat dapat mengembangkan resistensi ke insektisida yang digunakan untuk melawan mereka. Suatu jenis insektisida yang efektif untuk lalat putih pada suatu kasus kerusakan pada suatu waktu, dapat tidak efektif untuk aplikasi di lokasi dan waktu yang berbeda.
         Tahap telur dan pupa lebih tahan terhadap insektisida dibandingkan tahapan dewasa dan nimfa. Konsekuensinya eradikasi (pengendalian) populasi lalat putih biasanya memerlukan 4 – 5 kali penyemprotan dengan interval penyemprotan 5 – 7 hari. Pengendalian biologi dapat diterapkan untuk melawan lalat putih. Lalat putih memiliki musuh alami sejumlah predator dan parasitoid. Kerusakan parah pada bibit di persemaian (JPP) terutama terjadi pada semai ukuran < 10 cm, terparah terjadi pada semai < 5 cm.

      Rekomendasi dan Pengendalian
·   Perlu dilakukan wiwil daun dan penjarangan bibit dalam bedengan, untuk meningkatkan kesehatan bibit  dan memudahkan penyemprotan insektisida
·   Untuk penyemprotan dapat dilakukan dengan campuran insektisida - larutan deterjen atau larutan insektisida.
·   Penyemprotan dilakukan sedini mungkin ketika hama lalat putih mulai terlihat di persemaian, jangan menunggu jumlah populasi meledak sehingga menyulitkan pengendalian.
·   Penyemprotan diarahkan ke permukaan daun bagian bawah, karena serangga mengisap cairan dan tinggal di permukaan daun bagian bawah.
·   Selain pengendalian dengan kimiawi (insektisida), disarankan penggunaan mekanis, menggunakan alat penjebak lalat putih (colour trapping). Alat yang digunakan adalah kotak karton/papan kayu.
·   Pemupukan menggunakan pupuk NPK cair, untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan semai.
·   Penggunaan alat penjebak lalat putih (colour trapping) sebagai cara pengendalian mekanis, menggunakan kotak atau papan bercat/berwarna kuning terang, kemudian diolesi dengan bahan perekat/getah (lem tikus, getah kayu/nangka, stirofoam yang direndam dalam bensin/minyak tanah, oli). Kotak/papan dipasang di atas bedengan.
6.      Penyakit Layu – Busuk Semai
Serangan penyakit pada persemaian terjadi pada kondisi lingkungan yang lembab, biasanya pada musim hujan.  Berdasarkan karakteristik serangannya, penyakit yang muncul pada persemaian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
*      serangan penyakit dipicu oleh kondisi lingkungan yang lembab.
Gejala yang timbul biasanya bibit busuk. Penanganan secara mekanis dapat dilakukan dengan penjarangan bibit, wiwil daun, serta pemindahan bibit ke open area, dengan tujuan untuk mengurangi kelembaban.
*    serangan penyakit dipicu oleh hujan malam hari/dini hari pada awal musim hujan (penyakit embun upas).
Gejala yang timbul berupa daun layu seperti terkena air panas. Serangan penyakit ini umumnya muncul pada saat pergantian musim dari musim kemarau ke musim penghujan, saat hujan pertama turun yang terjadi pada malam hari atau dini hari pada awal musim hujan. Serangan penyakit terutama pada bibit yang masih muda, jumlah bibit yang terserang relatif banyak, cepat menular melalui sentuhan atau kontak daun, dan bersifat  mematikan.
7.      Hama rayap
         Serangan dapat terjadi pada tanaman jati muda pada musim hujan yang tidak teratur dan puncak kemarau panjang. Pada kasus serangan di puncak kemarau disebabkan rendahnya kelembaban di dalam koloni rayap sehingga rayap menyerang tanaman jati muda. Prinsip pengendaliannya dengan mencegah kontak rayap dengan batang/perakaran tanaman
Cara-cara pengendalian rayap yang dapat dilakukan :
1)       Preventif
-      secara tradisional dilakukan dengan menaburkan abu kayu di pangkal batang pada waktu penanaman
-      pemberian insektisida granuler (G), pada lubang tanam ketika penanaman, khususnya pada lokasi yang diketahui endemik/rawan rayap
-      mengurangi kerusakan mekanis pada perakaran dalam sistem tumpang sari
-      menghilangkan sarang-sarang pada lokasi
2)     Pengendalian :
-  mengoleskan kapur serangga di pangkal batang
-  pemberian insektisida granuler di pangkal batang
-  penaburan abu kayu di sekeliling pangkal batang
-  menghilangkan sarang-sarang pada lokasi

8.      Hama penggerek batang/oleng-oleng (Duomitus ceramicus)
Siklus Hidup
         Duomitus ceramicus merupakan sejenis ngengat, telurnya menetas antara bulan Maret – April, aktif pada malam hari. Setelah kawin ngengat betina bertelur pada malam hari dan diletakkan pada celah kulit batang. Telur berwarna putih kekuningan atau kuning gelap, bentuk silinder, panjang 0,75 cm. Telur diletakkan berkelompok pada bekas patahan cabang atau luka-luka di kulit batang. Stadia telur ± 3 minggu.
         Larva menetas pada bulan Mei, hidup dalam kulit pohon, selanjutnya menggerek kulit batang menuju kambium dan kayu muda, memakan jaringan kayu muda. Larva pada tingkat yang lebih tua membuat liang gerek yang panjang, terutama bila pohon jati kurang subur. Pada tempat gerekan terjadi pembentukan kallus(gembol). Larva menggerek batang dengan diameter 1 – 1,5 cm, panjang 20 – 30 cm dan bersudut 90 °.  Kotoran larva dari gerekan kayu dikeluarkan dari  liang gerek.  Fase larva sangat lama antara April – September.
Selanjutnya larva masuk ke stadium pupa, tidak aktif, posisinya mendekati bagian luar liang gerek. Fase pupa berlangsung antara September – Pebruari. Seluruh siklus hidupnya, dari stadia telur sampai menjadi ngengat memerlukan waktu  ± 1 tahun.
Pengendalian
·         Oleng-oleng termasuk serangga hama low density insect pest (serangga hama yang kepadatannya rendah).  Dalam 1 batang tanaman jati umumnya terdapat 1 ekor serangga larva, jarang 2 atau lebih. Meskipun hanya 1 ekor sudah dapat  merusak  satu batang jati. 
·         Kerusakan parah terutama pada serangan tanaman jati muda, umur 1 – 3 tahun. Tanaman jati muda mudah patah akibat lubang serangan pada batang jati muda.
·         Berkembangnya hama oleng-oleng difasilitasi oleh tingginya kelembaban dan suhu lingkungan di lantai dasar hutan.
·         Umumnya serangan oleng-oleng pada batang jati pada ketinggian 1 – 2 m dari tanah, dengan jumlah titik serangan 1 - 2. Namun demikian pada lokasi serangan endemik yang parah, titik serangan dapat mencapai 5 titik dengan ketinggian titik serangan mencapai 4 meter.
·         Teknik pengendalian hama dengan sifat seperti oleng-oleng diusahakan supaya insektisida yang dipakai harus dapat mengenai sasarannya. Oleh karena itu teknik pemakaian insektisida fumigan dapat dipakai karena dengan cepat mengenai sasarannya.
10.  Hama Kutu Putih (Pseudococcus/mealybug)
Kutu putih/kutu sisik (famili Coccidae, ordo Homoptera) yang pernah dilaporkan menyerang tanaman jati antara lain : Pseudococcus hispidus dan  Pseudococcus (crotonis) tayabanus.
Kutu ini mengisap cairan tanaman tumbuhan inang. Waktu serangan terjadi pada musim kering (kemarau). Seluruh tubuhnya dilindungi oleh lilin/tawas dan dikelilingi dengan karangan benang-benang tawas berwarna putih; pada bagian belakang didapati benang-benang tawas yang lebih panjang. Telur-telurnya diletakkan menumpuk yang tertutup oleh tawas.
Kerusakan pada tanaman jati muda dapat terjadi bilamana populasi kutu tinggi. Kerusakan yang terjadi antara lain : daun mengeriting, pucuk apikal tumbuh tidak normal (bengkok dan jarak antar ruas daun memendek).
Gangguan kutu ini akan menghilang pada musim penghujan. Namun demikian kerusakan tanaman muda berupa bentuk-bentuk cacat tetap ada. Hal tersebut tentunya sangat merugikan regenerasi tanaman yang berkualitas.
Kutu-kutu ini memiliki hubungan simbiosis dengan semut (Formicidae), yaitu semut gramang (Plagiolepis [Anaplolepis] longipes) dan semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) yang memindahkan kutu dari satu tanaman ke tanaman lain. 
Pengendalian
Pengendalian dilakukan bila populasi kutu per tanaman muda cukup besar. Pengendalian dilakukan dengan penyemprotan pada tanaman-tanaman yang terserang. Langkah-langkah pengendalian hama kutu putih antara lain sebagai berikut :
a.    Penyemprotan dengan insektisida nabati
b.    Untuk memulihkan bentuk-bentuk yang cacat maka dapat dilakukan pemotongan sampai pada batas atas kuncup ketiak, yang kelak akan menjadi tunas akhir yang lurus dan baik. Kegiatan pemotongan bagian-bagian yang cacat ini hendaknya dilakukan pada awal musim penghujan.
11.  Hama Kupu Putih (Peloncat Flatid Putih)
Kasus serangan hama kupu putih dalam skala luas pernah terjadi pada tanaman jati muda di KPH Banyuwangi Selatan pada musim kemarau tahun 2006. Serangga ini hinggap menempel di batang muda dan permukaan daun bagian bawah. Jumlah individu serangga tiap pohon dapat mencapai puluhan sampai ratusan individu.
Hasil identifikasi serangga, diketahui bahwa serangga yang menyerang tanaman jati muda ini adalah dari kelompok peloncat tumbuhan (planthopper) flatid warna putih (famili Flatidae, ordo Homoptera/Hemiptera). Dari kenampakan serangga maka kupu putih yang menyerang jati ini sangat mirip dengan spesies flatid putih Anormenis chloris. Jenis-jenis serangga flatid jarang dilaporkan menyebabkan kerusakan ekonomis pada tanaman budidaya.
Nilai kehadiran serangga kupu putih (flatid putih) ini menjadi penting karena waktu serangan terjadi pada musim kemarau yang panjang. Tanaman jati yang telah  mengurangi tekanan lingkungan dengan menggugurkan daun semakin meningkat tekanannya akibat cairan tubuhnya dihisap oleh serangga flatid putih. Dengan demikian serangan serangga flatid putih ini dapat meningkatkan resiko mati pucuk jati muda selama musim kemarau.
Pengendalian :
Serangga jenis-jenis peloncat flatid jarang dilaporkan menyebabkan kerugian ekonomis pada tanaman budidaya. Namun demikian bilamana populasi serangga tiap individu pohon sudah tinggi dan dalam skala luas serta dalam musim kemarau yang panjang maka kehadiran serangga flatid putih ini dapat memperbesar tekanan terhadap tanaman jati muda berupa peningkatan resiko mati pucuk di lapangan.
Pengendalian hama seperti peloncat flatid putih di atas dapat dilakukan dengan aplikasi insektisida sistemik melalui batang (bor atau bacok oles), dan penyemprotan bagian bawah daun, ranting-ranting, dan batang muda jati dengan insektisida racun lambung. Pemilihan jenis pestisida mengacu pada Lampiran 2.
12.  Hama Kumbang Bubuk Basah (Xyleborus destruens Bldf.)
Xyleborus destruens atau kumbang bubuk basah atau kumbang ambrosia menyebabkan kerusakan pada batang jati. Serangan kumbang ini pada daerah-daerah dengan kelembaban tinggi. Pada daerah-daerah dengan curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun serangan hama ini dapat ditemukan sepanjang tahun.
Gejala serangan yang mudah dilihat yaitu kulit batang berwarna coklat kehitaman, disebabkan adanya lendir yang bercampur kotoran X. destruens. Bila lendir dan campuran kotoran sudah mengering warnanya menjadi kehitam-hitaman.
Serangan hama ini tidak mematikan pohon atau mengganggu pertumbuhan tetapi akibat saluran-saluran kecil melingkar-melingkar di dalam batang jati maka menurunkan kualitas kayu.
Pencegahan dan Pengendalian :
*      Tidak menanam jati di daerah yang mempunyai curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun.
*      Menebang dan memusnahkan pohon-pohon yang diserang terutama pada waktu penjarangan.
*      Mengurangi kelembaban mikro tegakan, misalnya dengan mengurangi tumbuhan bawah.
*      Melakukan penjarangan dengan baik.
13.  Penyakit Layu Bakteri
Penyakit ini dapat menyerang tanaman jati di persemaian dan juga jati muda di lapangan. Di lapangan diketahui pertama kali menyerang tanaman jati pada tahun 1962 di Pati.  Di persemaian, diketahui bahwa persemaian Kucur di Ngawi (1996, 1998) dan persemaian Pongpoklandak, Cianjur (1999) pernah terserang.
Kasus kerusakan jati muda akibat penyakit layu bakteri di lapangan akhir-akhir ini mulai banyak yang muncul, seperti di Haur Geulis, Indramayu (2005), Jember (2006), Pati Utara (2006 – 2008). Bahkan kasus serangan penyakit layu bakteri di Pati Utara sudah sangat luas, menyerang tanaman jati muda s.d. umur 5 tahun, dengan demikian memerlukan penanganan yang serius.
Gejala Serangan Penyakit Layu Bakteri :
      Tanaman yang dapat terserang penyakit layu bakteri ini umumnya tanaman di bawah umur 1 tahun. Namun demikian pada kondisi iklim dan tanah yang mendukung, maka tanaman jati sampai dengan umur 5 tahun dapat terserang dan mengalami kematian.
      Daun menjadi layu, menggulung, kemudian mengering dan rontok. Batang kemudian layu dan mengering. Bilamana akar diperiksa, kondisi akar sudah rusak.
        daun layu (gejala awal), kondisi kulit batang tampak masih terlihat segar/sehat. Namun bilamana diperiksa lebih lanjut dengan memotong dan menyeset kulit/membelah batang yang terserang maka akan dapat dilihat bahwa bagian jaringan kambium dan kayu gubal (xylem) telah mengalami kerusakan, walaupun jaringan kulit (floem) masih terlihat hijau segar. Pada kambium atau permukaan luar kayu gubal dapat dilihat garis-garis hitam membujur sepanjang batang.
      Untuk mengetahui penyebab penyakit layu pada tanaman jati muda ini (penyebab penyakit jamur ataukah bakteri), dapat dilakukan uji cepat di lapangan. Caranya adalah dengan memotong batang atau cabang tanaman yang mengalami gejala layu dan memiliki garis-garis hitam membujur sepanjang xylem di atas.  Batang muda atau cabang yang telah berkayu dipotong dengan panjang 20 – 30 cm, kemudian potongan di bagian ujung batang/cabang dimasukkan ke dalam gelas yang berisi separuh gelas air jernih. Bilamana penyebab penyakit layu disebabkan bakteri, maka akan keluar cairan putih susu kental keluar dari potongan batang yang di dalam air. Cairan putih ini adalah koloni bakteri patogen.
      Bilamana gejala kerusakan terjadi pada tanaman di atas 1 tahun, untuk mengecek keberadaan bakteri dapat dilakukan dengan memotong cabang/batang tanaman yang telah terserang. Potongan cabang/batang dibiarkan beberapa menit, maka akan terlihat cairan putih kental keluar dari bagian xylematau dari kambium (jaringan antara xylemdan floem). Cairan putih kental ini merupakan tanda adanya infeksi bakteri pada tanaman.
      Bakteri penyebab penyakit layu pada tanaman jati muda ini adalah bakteri Pseudomonas tectonae. Bakteri ini berkembang pada lahan jati terutama pada kondisi solum yang sangat lembab, yaitu pada musim hujan dengan curah hujan tinggi dan dengan kondisi drainase buruk.
      Waktu antara gejala awal penyakit sampai dengan tanaman jati muda yang terserang menjadi mati tergantung pada umur tanaman yang terserang. Tanaman < 1 tahun  : proses kematian berkisar 1 – 2 minggu; sedangkan pada serangan pada tanaman > 1 tahun : proses kematian mencapai beberapa bulan.
Pengendalian penyakit layu bakteri pada jati :
Untuk pengendalian penyakit layu bakteri dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara biologi, cara kimiawi, dan cara silvikultur. Untuk serangan pada masa persemaian, cocok dilakukan pengendalian dengan cara biologi dan kimiawi. Adapun untuk kasus serangan pada tanaman yang sudah ada di lapangan, maka cara silvikultur lebih efektif dan aman.
   Cara biologi, dilakukan dengan menggunakan bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens dengan konsentrasi 108 cfu/ml dengan dosis 15 – 25 ml/pot semai, disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran. Hasil uji coba Pseudomonas fluorescens efektif menekan bakteri patogen P. Tectonae, dengan meningkatnya persen tumbuh bibit dari 70% menjadi 100%.
   Cara kimiawi, menggunakan bakterisida, disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran.
   Cara silvikultur, dilakukan dengan menyediakan lingkungan tempat tumbuh tanaman hutan sehingga dapat diperoleh tanaman sehat dengan produktivitas tinggi. Aplikasi silvikultur untuk penanganan penyakit layu bakteri adalah dengan memperbaiki drainase lahan dan pengaturan jenis tumpang sari pada tanaman pokok jati.  Kedua langkah tersebut perlu dilakukan agar dapat diperoleh zona perakaran jati yang sarang, tidak jenuh air, sebuah persyaratan yang dibutuhkan bagi budidaya jati yang sehat. Perbaikan drainase lahan dilakukan dengan pembuatan parit-parit drainase khususnya di daerah-daerah dengan topografi datar. Jenis tumpangsari jati – padi cenderung menciptakan lingkungan tempat tumbuh yang buruk bagi tanaman pokok jati. 
14.  Hama Inger-Inger (Neotermes tectonae)
Neotermes tectonae merupakan suatu golongan rayap tingkat rendah. Koloni inger-inger tidak begitu banyak, hanya beberapa ratus sampai beberapa ribu individu.
Gejala kerusakan dapat dijumpai berupa pembengkakan pada batang, kebanyakan pada ketinggian antara 5 – 10 m, namun juga ada pada 2 m atau sampai 20 m. Jumlah pembengkakan dalam satu batang bervariasi, mulai satu sampai enam titik lokasi pembengkakan.
Waktu mulai hama menyerang sampai terlihat gejala memerlukan waktu 3-4 tahun, bahkan sampai 7 tahun.
Kasus serangan hama inger-inger di lapangan umumnya dijumpai terutama pada lokasi-lokasi tegakan yang memiliki kelembaban iklim mikro yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kerapatan tegakan yang terlalu tinggi. Penyebabnya adalah tidak dilakukannya ataupun terlambatnya kegiatan penjarangan, padahal kegiatan penjarangan merupakan bagian dari upaya silvikultur untuk menjaga kesehatan tegakan.
Akibat serangan inger-inger ini adalah pada bagian yang diserang kayunya sudah tidak bernilai sebagai kayu pertukangan dan harus dikeluarkan dari hitungan perolehan massa kayu bahan pertukangan.
Pencegahan dan Pengendalian
      Metode penjarangan yang telah ditetapkan dan berlaku bagi hutan-hutan jati di Indonesia apabila dilakukan dengan teratur dapat mencegah meluasnya serangan inger-inger. Kegiatan penjarangan sebaiknya dilakukan sebelum hujan pertama atau kira-kira bulan oktober guna mencegah penyebaran sulung (kelompok hama inger-inger yang mengadakan perkawinan).
      Penjarangan agak keras dianjurkan bagi daerah-daerah yang menderita serangan lebih dari 30% tegakan. Bagi daerah-daerah yang serangannya lebih dari 50% periodisitas penjarangan perlu ditingkatkan, yaitu untuk KU II tiap 3 tahun, KU III dan KU IV tiap 5 tahun.
      Dalam kegiatan penjarangan perlu diusahakan agar pohon-pohon yang ditebang tidak menimpa pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut akan mengakibatkan cacat-cacat yang berupa patah-patah cabang, luka-luka batang dan sebagainya yang akan menjadi pintu masuk bagi inger-inger.
      Cara pengendalian di alam selama ini kurang efektif. Hampir semua binatang pemakan serangga dapat menjadi musuh/pemangsa bagi hama inger-inger. Burung pelatuk, kelelawar, tokek, lipan, kepik buas, cicak, katak pohon merupakan musuh alami yang cukup penting dalam mencegah penyebaran hama inger-inger pada pohon jati yang sehat. Karena itu keberadaan predator-predator tersebut harus dijaga keberadaannya di hutan jati.
      Untuk pengendalian secara kimia, dalam pelaksanaannya ditujukan untuk hama inger-inger di dalam batang, dan sulung hama inger-inger yang berada di luar batang.
B.     Hama dan Penyakit Tanaman Pinus
Hama yang menyerang tanaman pinus yang saat ini sedang banyak terjadi adalah kutu lilin. Sementara pada lokasi persemaian biasanya bibit/semai terserang penyakit lodoh semai (dumping off) yang diakibatkan oleh jamur/fungi dan bercak daun pestalotia.
1.   Penyakit lodoh semai (damping off)
Penyakit lodoh semai (damping off) merupakan penyakit yang menyerang bibit di persemaian pada periode sukulen pinus. Periode sukulen adalah periode semai ketika jaringan batang masih lunak dan belum terbentuk jaringan kayu. Periode ini dimulai sejak benih berkecambah sampai sekitar semai umur satu bulan pasca sapih.
Gejala yang muncul berupa busuk pangkal batang; pangkal batang/leher akar semai muda menjadi lunak kemudian semai roboh. sehingga semai menjadi rebah. Penyebab penyakit ini antara lain jamur Fusarium, Pythium, Rhizoctonia, dan Sclerotium.
Tingkat kematian semai akibat penyakit ini cukup tinggi, namun hampir tidak pernah didata. Data kematian semai umur sebulan pasca overspin/sapih akibat penyakit damping off ini dapat mencapai 30%. 
Upaya regular untuk menekan kematian akibat penyakit ini dilakukan dengan sterilisasi media dan benih dengan penjemuran media dan pemberian fungisida.
2.   Penyakit Bercak Daun Pestalotia
Penyakit bercak daun Pestalotia muncul sebagai problem persemaian pinus setelah periode sukulen semai berakhir. Awal kerusakan semai di persemaian umumnya dimulai setelah semai berumur 3 atau 4 bulan pasca sapih.
Gejala kerusakan diawali dengan timbulnya bercak-bercak kuning pada daun jarum semai, yang kemudian meluas sehingga daun-daun jarum tampak menguning (klorosis). Gejala lebih lanjut berupa mengeringnya (nekrosis) daun-daun diawali dari pucuk daun jarum ke arah pangkal, dari bagian daun bagian bawah kemudian menyebar ke arah pucuk semai. Semai yang terserang parah biasanya seluruh daun sudah mengering, hanya tersisa bagian hijau di pucuk semai. Serangan penyakit bercak daun ini sering berakhir dengan kematian ribuan semai pinus di persemaian. Untuk kasus-kasus serangan penyakit bercak daun pada semai yang lebih muda, terkadang gejala kematian diawali dari pucuk semai, sehingga semai menjadi mati pucuk.
Penyebaran penyakit antar semai dibantu oleh angin dan kelembaban udara sehingga model penyebaran kerusakan semai akan tampak berupa titik-titik (spot) yang mengelompok dan semakin meluas dengan cepat menular ke semai-semai di sekitarnya.
Penyebab Penyakit
Jamur Pestalotia sp. telah diidentifikasi sebagai jamur penyebab penyakit bercak daun. Ciri-ciri Pestalotia sp. adalah, bila menyerang tanaman akan menimbulkan bercak-bercak pada daun dengan area nekrosa yang tampak kering pada bagian tengahnya, berbintik-bintik kecil (cairan) yang berwarna hitam yang disebut acervuli jamur. Pada bagian pinggir serangan tampak berwarna coklat atau merah.
Kerusakan semai pinus di persemaian yang cukup tinggi akibat penyakit bercak daun Pestalotia sp. lebih dipicu oleh kondisi semai yang lemah akibat kondisi lingkungan yang buruk (penurunan vigoritas semai akibat kekahatan unsur hara). Hal ini karena pada dasarnya jamur Pestalotia sp. dalam kondisi normal sebenarnya merupakan parasit lemah yang mengadakan infeksi melalui luka-luka (patogen sekunder) dan umum dijumpai berasosiasi dengan daun berbagai jenis tanaman.
Pencegahan dan Pengendalian
Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit bercak daun pinus di persemaian, perlakuan-perlakuan yang dilakukan memiliki dua fungsi, yaitu :
a)      perlakuan yang berfungsi meningkatkan tingkat kesehatan (vigoritas)  semai, antara lain melalui pemupukan (organik dan an organik), pemberian mikoriza, pemberian pelet Trichoderma atau Gliocladium. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah :
-         Pupuk yang digunakan sebaiknya jenis pupuk lambat tersedia (slow release fertilizer), misal Dekastar.
-         Waktu pemupukan sebaiknya setelah semai berumur 2-3 bulan sejak sapih. Hal ini dengan pertimbangan jaringan batang sudah mengeras (tidak sukulen lagi). Pemupukan pada semai sukulen sering meningkatkan kematian bibit.
-         Pupuk lambat tersedia di tabur dan dimasukkan dekat polibag (1-1,5 cm dari pangkal batang) sebanyak 10 butir.
-         Pelet Trichoderma atau Gliocladium dicampur dengan media pada saat pembuatan media semai. Dosis aplikasinya : 5 pelet Trichoderma untuk setiap polibag. Sedangkan bila Gliocladium yang dipakai, maka dosisnya ½ sendok teh per polibag.
-         Adapun dosis tablet mikoriza per polibag adalah sebanyak 1 butir.
-         Pupuk organik cair juga dapat diberikan pada bibit. Pupuk cair berasal dari rendaman kotoran kambing yang sudah matang. Pupuk cair diencerkan dan disemprotkan ke bibit di persemaian.
b)      perlakuan yang bersifat mematikan jamur patogen (melalui penyemprotan fungisida).
Dalam pelaksanaan tindakan pengendalian penyakit di persemaian, kedua fungsi di atas tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perlakuan penting pertama sebagai langkah preventif diterapkan pada bibit di persemaian sejak awal sebelum bibit terserang. Dengan pertumbuhan dan vigoritas yang optimal maka ketahanan semai terhadap resiko terberat penyakit bercak daun berupa kematian bibit, dapat dipertahankan sampai dengan semai siap tanam. 
Tindakan pencegahan dalam kasus serangan penyakit bercak daun pinus harus menjadi pilihan utama. Hal ini mengingat seringkali tindakan pengobatan penyakit bercak daun pinus berakhir dengan kematian ribuan bibit (bibit gagal diselamatkan), terutama bilamana gejala kerusakan terlambat ditangani.
Dalam pelaksanaan pengobatan/recovery semai, di samping tindakan mematikan jamur patogen, semai harus segera disuplai nutrisi tambahan agar semai dapat pulih dan tumbuh sehat.
Berikut ini langkah-langkah pengendalian bilamana terjadi serangan penyakit bercak daun Pestalotia :
-         Seleksi dan Sortasi Bibit : bibit-bibit dikelompokkan berdasarkan tingkat keparahan serangan.
-         Tindakan wiwil daun dan pucuk semai yang terserang : daun-daun atau pucuk semai yang kering akibat serangan penyakit bercak daun harus digunting/dipotong. Daun-daun kering atau pucuk semai yang mati kering dapat menularkan penyakit ke daun-daun/semai pinus yang masih sehat. Gejala serangan bercak daun di pucuk semai biasanya terjadi pada semai umur awal (± umur 3 bulan), bila serangan terjadi
-         Daun-daun kering bekas terserang di atas, harus dimusnahkan/dibakar agar tidak menularkan jamur Pestalotia ke semai-semai lainnya.
-         Pemberian suplemen tambahan guna meningkatkan kesehatan semai (antara lain pupuk kimia/organik cair, pelet Trichoderma- T. reesei atau Gliocladium)
-         Penyemprotan dengan menggunakan fungisida. Untuk pencegahan penyemprotan 10 hari sekali selama 3 bulan, untuk pengobatan penyemprotan 5 hari sekali selama 3 bulan.
3.  Hama Kutu Lilin Pinus
Hama kutu lilin menyerang tanaman Pinus merkusii semua tingkatan umur, mulai umur 1 tahun sampai dengan tegakan akhir daur. Kutu ini mengisap cairan pohon, terutama di pucuk-pucuk ranting tajuk pinus.
Tanda-tanda adanya serangan kutu lilin dapat dilihat berupa adanya bintik-bintik putih atau lapisan putih menempel pada ketiak daun di pucuk-pucuk ranting pinus. Lapisan putih ini merupakan benang-benang lilin yang dikeluarkan kutu, merupakan tempat berlindung kutu. Pucuk yang terserang daunnya menguning, kemudian daun dan pucuk menjadi rontok dan kering.
Untuk serangan pada tegakan (pohon besar), indikasi serangan dapat diamati secara okuler dengan perubahan warna dan kelebatan tajuk pohon. Tajuk pohon yang sehat berwarna hijau dan segar, sedangkan tajuk pohon pinus yang sakit (terserang) berwarna hijau kusam, kekuningan. Tajuk pohon yang terserang juga berubah menjadi tipis akibat daun-daun yang rontok.
Identifikasi Kutu Lilin
Dari identifikasi yang dilakukan oleh pakar (Dr. Gillian W. Watson, ahli insect biosystematist, USA) diketahui bahwa spesies kutu lilin adalah Pineus boerneri. Adapun taksonomi hama kutu lilin (Pine Adelgid) selengkapnya adalah sebagai berikut :
      Phylum               : Arthropoda Latreille, 1829 - arthropods
      Klas                    : Insekta Linnaeus, 1758 - insects
      Ordo                   : Hemiptera
      Subordo             : Stenorrhyncha
      Superfamili         : Aphidoidea
      Famili                 : Adelgidae
      Genus                 : Pineus
      Species               : boerneriAnnand, 1928
      Scientific Name : Pineus boerneri Annand, 1928
Pada umumnya kutu lilin tubuhnya lunak, berukuran kecil (±1 mm), tinggal dan bereproduksi di pangkal pucuk bagian luar dari pohon Pinus.  Kutu ini mengeluarkan lilin putih dari lubang yang terdapat di bagian dorsal. 
Kutu betina mempunyai ovipositor, rostrum yang panjang, spirakel pada abdomen dan tidak aktif bergerak (sessile).
Sebagian besar famili Adelgidae mempunyai siklus hidup selama 2 tahun.  P. boerneri adalah kutu yang aseksual sepanjang tahun dan memproduksi telur secara parthenogenesis. Biasanya mengisap spesies Pinus yang berdaun 2 dan 3.
Dengan sifat aseksual dan produksi telur parthenogenesis (berkembang biak tanpa perkawinan), maka populasi kutu ini cepat sekali berlipat ganda. Bila suatu petak tanaman pinus merkusii diketahui telah terserang, maka sangat mungkin bahwa pohon-pohon di petak-petak sekitarnya telah terserang namun populasi hama masih cukup rendah sehingga belum menunjukkan efek merusak yang terlihat mata.
Penyebaran dan fluktuasi populasi hama kutu lilin di lapangan dipengaruhi oleh faktor barrier (penghalang) berupa barrier alam (jurang, bukit), vegetasi (ada tidaknya vegetasi lain selain pinus), dan musim. Pertanaman pinus yang memiliki barrier alam dan vegetasi lain yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibanding pertanaman yang berada di bentang alam yang terbuka. Namun seiring waktu bilamana pohon-pohon pinus sudah tinggi (tinggi pohon pinus sudah menyamai/melebihi barrier yang ada) maka tingkat serangan hama kutu lilin juga meningkat. Serangan hama kutu lilin meningkat pada musim kemarau; pada musim hujan kutu lilin tertekan namun tetap ada dalam tegakan dalam populasi terbatas.
Dampak Serangan Hama Kutu Lilin Pinus
      Ribuan hektar tanaman muda dan produktif telah terserang
      Ribuan pohon, tanaman muda dan pohon umur produktif hidup merana,  dan sudah banyak yang mati.
      Akibat serangan pada pohon pinus yang sedemikian luas, maka produksi getah pinus sebagai sumber pendapatan perusahaan dapat terancam kelangsungannya.
      Hama Kutu Lilin sangat mengancam kelangsungan tegakan pinus di Jawa
Pengendalian Hama Kutu Lilin
Dari berbagai data dan informasi diketahui bahwa ternyata hama jenis pencucuk pengisap (superfamili Aphidoidea) banyak menyebabkan kerusakan dan permasalahan sangat serius pada pohon-pohon jenis konifer (jenis-jenis pinus dan daun jarum) di berbagai negara. Serangan hama pencucuk pengisap telah mengakibatkan krisis di kehutanan negara-negara Afrika. Sampai dengan saat ini serangan hama aphid (pencucuk pengisap) ini sudah berjalan selama 40 tahun (keberadaan hama pertama kali diketahui tahun 1968).
Mengingat seriusnya permasalahan hama kutu lilin bagi keberlangsungan pengelolaan hutan pinus, maka diperlukan pengendalian hama secara terpadu,  berkelanjutan dan menyeluruh oleh berbagai pihak terkait.
Upaya yang dapat diterapkan antara lain :
a.       Karantina
b.      Survei dan Monitoring : cara ini penting dilakukan untuk mengetahui perkembangan (penyebaran dan dampak) serangan hama kutu lilin dari waktu ke waktu secara detail. Dengan demikian maka keputusan langkah pengendalian (kapan dan dimana) dapat diambil secara tepat.
c.       Pengendalian secara kimiawi : keuntungannya merupakan cara cepat untuk melindungi pohon; kerugiannya antara lain dapat mematikan parasit dan predator, di samping dampak polusi lingkungan..
d.      Manipulasi Silvikultur : penggunaan jenis-jenis spesies alternatif, pemilihan tapak yang tidak cocok bagi hama kutu lilin, penjarangan tegakan yang terserang untuk meningkatkan kesehatan (vigoritas) pohon, penanaman lebih dari satu jenis spesies pada suatu lokasi pertanaman.
e.       Pengendalian secara mekanik : melalui penggunaan perangkap dan penyemprotan air volume tinggi ke cabang-cabang. Cara ini tidak menimbulkan efek negatif pada lingkungan, tapi belum teruji untuk hama kutu lilin, juga perlu banyak tenaga pelaksana.
f.        Observasi resistensi genetik : pada suatu tegakan pinus yang terserang hama kutu lilin. Dari berbagai observasi lapangan diketahui bahwa terdapat peluang adanya pohon resisten (pohon sehat hijau tidak dijumpai adanya serangan kutu lilin, pohon bersih dari kutu lilin)dan juga pohon toleran (kutu lilin menyerang, tapi pohon tetap sehat hijau tidak menunjukkan gejala sakit). Untuk mendapatkan pohon yang benar-benar resisten ataupun toleran, maka observasi kontinyu perlu dilakukan terhadap pohon-pohon kandidat resisten – toleran yang telah dipilih.
g.       Pengendalian secara biologi, dilakukan dengan cara mengintroduksi musuh alami hama kutu lilin.
C.     Hama dan Penyakit Tanaman Mahoni
Mahoni (Switenia sp) merupakan spesies dengan mutu kayu yang baik untuk bahan bangunan. Beberapa hama dan penyakit yang terindentifikasi antara lain :
a)      Serangan pada persemaian mahoni disebabkan oleh Xylosandrus compactus (scolytid beetle) sejenis kumbang sisik yang menyerang batang semai. Merupakan famili Coleoptera, Scolyptidae. Hama ini meletakan telurnya di dalam batang, dan larvanya hidup di dalam batang tersebut, sehingga mengakibatkan kerusakan, dan semai tersebut roboh/mati. Selain pada semai, kadang hama ini juga meletakan telur-telurnya pada ranting dan cabang pohon lainnya.
b)      Penggerek pucuk Hypsipyla robusta (shoot borer)
Merupakan famili Lepidoptera; Pyralida. Pada tingkat larva menyerang tegakan pada tingkat sapling terutama pada umur 3 – 6 tahun dengan tinggi antara 2 – 8 m, pada pohon dengan umur tua jarang dijumpai serangan ini. Dengan daur hidup 1 – 2 bulan, berbagai tingkatan larva dapat sekaligus melakukan penyerangan berulang kali.
Gejala yang nampak adalah pucuk tiba-tiba menjadi layu, mengering dan lama-lama mati. Jika dipotong bagian batang pucuk yang mati akan dijumpai terdapat larva kumbang (seperti ulat) berada di dalamnya.
Sampai saat ini belum ditemukan metode yang efektif guna mengatasinya. Pencegahan yang diajurkan antara lain penanaman multikultur (campur) antara mahoni dan akasia mangium (Matsumoto et al, 1997) dan pencampuran dengan Azadirachta indica (mimbo). (Suharti, 1995)
c)      Ulat pemakan daun
Hama lain yang menyerang tanaman mahoni adalah ulat pemakan daun Attacus atlas (Lepidoptera, Saturnidae) dan sejenis lebah pemotong daun Megachile sp (Hymenoptera, Megachilidae). Serangan hama ini belum dianggap merugikan karena intensitas dan dampaknya yang masih minor/kecil.
d)      Jamur akar
Jamur ini menyerang pada pertengahan musim hujan tumbuh dari bawah menyebar dengan cepat dan seringkali menyebabkan kematian pohon pada akhir musim hujan. Jamur ini diperkirakan menular melalui aliran air terutama pada daerah miring serta masuk lewat luka pada akar tanaman dan menyerang seluruh bagian tanaman. Serangan penyakit ini pernah terjadi pada tegakan mahoni di Puwodadi dan menyerang hampir 40% dari tegakan yang ada (Sumardi dan Widyastuti, tidak dipublikasikan).
D.    Hama dan Penyakit Tanaman Sengon
Hama dan penyakit yang menyerang tanaman mahoni yang teridentifikasi seperti pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Jenis Hama dan Penyakit Tanaman Sengon
No
Bagian Tanaman yang diserang
Jenis hama dan penyakit
Nama HPT umum
Keterangan
1.
Menggerek Batang
Xystrocera festiva (Coleoptera, Ceramycidae)
X. globosa
Hama boktor

2.
Pemakan daun
Pteroma plagiophleps (Lepidoptera,Psychidae)
Eurema blanda (Lepidoptera, Pieridae)
Ulat kantong kecil
Ulat kupu-kupu kuning
Serangan spradis
3.
Pemakan akar
Beberapa spesies (Coleoptera, Scarabaeidae)
Ulat putih
Menyerang sapling
4.
Pemakan kulit batang
Indarbela quadrinotata (Lepidoptera, Indarbelidae)
Ulat kulit batang

5.
Penggerek batang
Xylosandrus morigerus (Coleoptera, Scolytidae)
Kumbang sisik

6.
Damping-off
Pythium sp.
Phytoptora sp.
Rhizoctonia sp.
Lodoh akar/batang
Menyerang semai
7.
Penyakit Antraknosa
Colletotrichum sp.
Antraknosa
Menyerang semai
8.
Busuk akar
Botryo diplodia sp.
Ganoderma sp.
Ustulina sp.
Rosellinia sp.
Jamur akar
Menyerang tanaman muda
9.
Kanker karat/puru
Uromycladium tepperianum
Jamur karat
Menyerang semua umur
Sumber : Nair (2000)
Berikut dijelaskan beberapa jenis HPT yang berpotensi besar kerusakannya.
1.   Penyakit Karat Puru
Serangan karat puru pada sengon ditandai dengan terjadinya pembengkakan (galls) pada ranting/cabang, pucuk-pucuk ranting, tangkai daun dan helaian daun. Gall ini merupakan tubuh buah dari jamur.
Penyakit karat puru dapat menjadi persoalan yang serius dalam pengelolaan tanaman sengon. Penyebaran penyakit ini sangat cepat. Penyakit ini menyerang sengon mulai dari persemaian sampai lapangan dan pada semua tingkat umur. Kerusakan serius bila serangan terjadi pada tanaman muda (umur 1- 2 tahun), karena titik-titik serangan (gall) bisa terjadi di batang utama sehingga batang utama rusak/cacat, tidak dapat menghasilkan pohon berkualitas batang yang tinggi).
Penyebab penyakit karat puru yang menyerang tegakan sengon adalah jamur Uromycladium tepperianum. Jamur ini dikenal sebagai jamur karat yang menyerang lebih dari seratus spesies Acacia, jenis-jenis Paraserianthes/Albizia spp., Racosperma spp. (ketiganya merupakan anggota famili Fabaceae {= Leguminosae}), menyebabkan pembengkakan (gall) yang menyolok pada dedaunan dan ranting pohon.
Setiap gall karat puru dapat melepaskan ratusan sampai ribuan spora yang dapat menularkan ke pohon-pohon sekitarnya dengan cepat melalui bantuan angin.  Ukuran, bentuk, dan warna gall bervariasi tergantung bagian tanaman yang terserang dan umur gall.  Warna gallpada awalnya hijau kemudian berubah menjadi coklat. Warna coklat indikasi bahwa spora-spora yang melimpah siap dilepaskan.
Sebaran geografi penyakit ini adalah di Australia, New Caledonia, Papua New Guinea (1984), Maluku (1988/1989), Afrika Selatan (1992), Sabah (1993), Philiphina (1997), Timor-Timur (mulai tahun 1998), dan Jawa (mulai 2003). Di Jawa, beberapa sentra sengon yang diketahui telah terserang penyakit karat puru antara lain : Lumajang, Jember, Banyuwangi, Probolinggo, Malang, Wonosobo, Boyolali, Salatiga, dan Wonogiri.
Pencegahan dan Pengendalian :
1.      Untuk serangan penyakit karat puru di persemaian, maka semai yang menunjukkan gejala serangan harus segera dicabut dan dimusnahkan (dibakar).
2.      Untuk mencegah perluasan sebaran penyakit karat puru, perlu pengawasan yang ketat tentang transportasi benih, bibit, dan kayu tebangan dari daerah yang diketahui telah terserang ke daerah yang belum terserang.
3.      Pemeliharaan tanaman yang sudah ada (pemupukan dan penjarangan).
4.      Untuk tanaman yang telah terserang, maka upaya yang perlu dilakukan adalah menghilangkan gall dan bagian tanaman yang terserang sedini mungkin, sebelum gall membesar dan berwarna coklat. Langkah selanjutnya adalah mematikan sel-sel penyakit karat puru di bagian yang terserang agar tidak tumbuh gall lagi.
5.      Untuk mematikan sel-sel penyakit di bekas gall di atas dapat digunakan spiritus, kapur, garam, dan belerang. Caranya adalah sebagai berikut :
      Spiritus :  Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dengan cara mengelupas gall tersebut dari batang/cabang/pucuk. Kemudian bagian tersebut disemprot/ dioles dengan spirtus
      Kapur + garam (5 kg kapur + 0,5 kg garam) dicampur dalam   5 – 10 liter air. Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dari gallnya, kemudian  disemprot/dioles dengan campuran kapur garam
      Belerang 1 kg + kapur 1 kg (1 : 1) + air 10/20 liter, diaduk hingga rata. Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dari gallnya, kemudian bagian tersebut disemprot/dioles larutan belerang kapur.
6.      Menghindari penanaman sengon untuk sementara, terutama di dataran tinggi yang berkabut.
7.      Untuk pengendalian jangka menengah dan jangka panjang dilakukan dengan cara rotasi tanaman dan pemuliaan tanaman sengon.
a.       Rotasi tanaman : penggantian sengon sebagai tanaman pokok, diganti dengan jenis-jenis FGS yang potensial dan tidak menjadi inang jamur Uromicladium sp. Selama ini yang menjadi inang penyakit karat puru adalah dari jenis-jenis famili Fabaceae/Leguminosae, seperti jenis-jenis Acacia spp, Paraserianthes/Albizzia spp. dan Racosperma spp.
b.      Pemuliaan tanaman sengon : dicari individu-individu pohon sengon yang tahan terhadap penyakit karat puru.
2.  Hama Boktor (Xystrocera festiva, ordo Coleoptera)
Titik awal serangan hama boktor adalah  adanya luka pada batang. Umumnya telur diletakkan pada celah luka di batang. Telur baru ditandai utuh, belum berlubang-lubang; bila telur sudah berlubang-lubang dimungkinkan bahwa telur sudah menetas.
Sejak larva keluar dari telur yang baru beberapa saat menetas, larva sudah merasa lapar dan segera melakukan aktivitas penggerekan ke dalam jaringan kulit batang di sekitar lokasi dimana larva berada. Bahan makanan yang disukai larva boktor adalah bagian permukaan kayu gubal (xylem) dan bagian permukaan kulit bagian dalam (floem). Adanya serbuk gerek halus yang menempel pada permukaan kulit batang merupakan petunjuk terjadinya gejala serangan awal.
Pengendalian Hama Boktor
Ada 6 prinsip pengendalian hama boktor pada tegakan sengon, yaitu cara silvikultur, manual, fisik/mekanik, biologis, kimiawi dan terpadu.
Pengendalian secara silvikultur dilakukan dengan :
      Upaya pemuliaan, melalui pemilihan benih/bibit yang berasal dari sengon yang memiliki ketahanan terhadap hama boktor.
      Penebangan pohon terserang dalam kegiatan penjarangan (Tebangan E).
Pengendalian secara manual, antara lain dilakukan dengan :
      Mencongkel kelompok telur boktor pada permukaan kulit batang sengon,
      menyeset kulit batang tepat pada titik serangan larva boktor sehingga larva boktor terlepas dari batang dan jatuh ke lantai hutan
      diperlukan ketrampilan petugas dalam mengenali tanda-tanda serta gejala awal serangan hama boktor.
Pengendalian secara fisik/mekanik, antara lain dilakukan dengan :
      kegiatan pembelahan batang sengon yang terserang boktor,
      pembakaran batang terserang boktor sehingga boktor berjatuhan ke tanah,
      dengan cara pembenaman batang terserang ke dalam tanah.
Pengendalian secara biologis, dilakukan dengan :
      menggunakan peranan musuh alami berupa parasitoid, predator atau patogen yang menyerang hama boktor,
      caranya dengan membiakkan musuh alami kemudian melepaskannya ke lapangan agar mencari hama boktor untuk diserang, musuh alami ini diharapkan akan mampu berkembang biak sendiri di lapangan.
      Teknik pengendalian secara biologis yang pernah dicoba antara lain : parasitoid telur boktor (kumbang pengebor kayu Macrocentrus ancylivorus), jamur parasit (Beauveria bassiana),  dan penggunaan predator boktor (kumbang kulit kayu Clinidium sculptilis).
Pengendalian secara kimiawi, dilakukan dengan :
      aplikasi insektisida melalui cara bacok tuang, takik oles, bor suntik maupun semprot;
      cara kimiawi tersebut ternyata tidak efektif untuk mengendalikan hama boktor.
Pengendalian secara terpadu, dilakukan dengan :
      penggabungan dua atau lebih cara pengendalian guna memperoleh hasil pengendalian yang lebih baik;
      contohnya pengendalian dengan cara menebang pohon yang terserang, kemudian batang yang terserang tersebut segera dibakar atau dibelah agar tidak menjadi sumber infeksi bagi pohon yang belum terserang.
3.    Hama Ulat Kantong
Hama ulat kantong (Pteroma plagiophleps : Lepidoptera, Psychidae) menyerang daun-daun tanaman sengon. Hama ini tidak memakan seluruh bagian daun, hanya parenkim daun yang lunak; menyisakan bagian daun yang berlilin. Daun-daun tajuk yang terserang terdapat bercak-bercak coklat bekas aktivitas ulat. Bilamana populasi ulat tinggi dapat menyebabkan kerugian yang serius.
4.   Penyakit Jamur Akar Merah (Ganoderma sp.)
Serangan penyakit jamur akar merah menyebabkan kematian pohon-pohon di tegakan sengon. Gejala yang mudah diamati adalah menipisnya daun-daun di tajuk sengon kemudian pohon mengering. Tanda keberadaan jamur dapat diamati pada pangkal pohon yang terserang; pada pangkal batang/leher akar keluar tubuh buah jamur Ganoderma berwarna merah kecoklatan, terutama pada musim penghujan. Keluarnya tubuh jamur mengindikasikan bahwa serangan pada pohon telah berlangsung lama, tingkat serangan sudah parah. Jamur ini menyebabkan busuknya perakaran pohon sehingga tanaman mati.
Kasus kerusakan akibat penyakit jamur akar merah ini di tegakan sengon masih jarang, belum banyak dijumpai. Namun demikian bilamana kasus serangan sudah dapat dijumpai maka pada tahun-tahun mendatang potensi kerusakan/kematian pohon pada tegakan akan semakin membesar.
Hal ini seperti yang telah terjadi pada pengusahaan tanaman Acacia mangium di HTI Luar Jawa, dan di Semenanjung Malaysia. Penyakit ini telah menyebabkan kerusakan yang serius, menyebabkan kematian cukup besar pada tanaman Acacia mangium. Kerusakan yang cukup besar pernah dilaporkan terjadi bahwa pada penyakit ini menjadi utama pada tanaman A. mangium umur 3 tahun dan menyebabkan kerusakan sebesar 40% dari total tanaman umur 8 tahun. Kerusakan yang ditimbulkan pada daur kedua umumnya lebih parah dan lebih awal menyerang tanaman dibandingkan serangan pada tegakan daur tebangan pertama.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara pembersihan tonggak pohon-pohon pada lokasi yang telah terserang, pembuatan parit isolasi, serta penggunaan pestisida.
E.     Hama dan Penyakit Tanaman Acasia mangium
Pada persemaian Akasia mangium seringkali terjadi serangan hama diantaranya serangga tanaman, belalang dan ulat kantong dan jamur akar yang menyebabkan berbagai kerusakan. Beberapa hama dan penyakit yang teridentifikasi antara lain :
Tabel 3. Jenis hama dan Penyakit  tanaman Akasia mangium
No
Tipe Kerusakan
Penyebab
Keterangan
Nama Ilmiah
Nama Umum
1
2
3
4
5
1
Penggerek akar
Coptotermes curvignathus (Isoptera, Rhinotermitidae)
Rayap
Menyebabkan kematian tingkat saplings
2
Pemakan daun
Pteroma plangiophelps
(Lepdoptera, Psychidae)
Ulat kantong
Menyerang pada saplings muda


Valanga nigricormis
(Orthoptera, Acrididae)
Belalang

3
Pencucuk pengisap
Helopeltis theivora
Serangga nyamuk
Menyerang pada saplings muda
4
Penggerek ranting
Xylosabdrus sp dan Xyleborus fomicatus
Penggerek ranting
Menyerang cabang muda
5
Penggerek batang
Xytocera festiva
Penggerek batang

6
Karat daun
Atelocauda digitata
Karat daun

7
Powder mildew (daun)
Oidium spp.
Embun tepung

8
Black mildew (daun
Meliola spp.
Embun jelaga

9
Bintil daun
Cercospora, petalotiopsis, Collectitricum spp.
Bintil daun

10
Kanker batang
Corticium salmonicolor
Penyakit pink

11
Kanker hitam
Pytophtora palmivora
Cystospora sp.
Hypixylon mammatum
Kanker hitam

12
Busuk hati
Phellinus noxius
Rigidoporus hypobrunneus
Tinctoporellus epimitinus
Jamur upas

13
Busuk akar merah
Ganoderma philipii
Jamur akar merah

14
Busuk akar putih
Rigidoporus microporus
Jamur akar putih

Sumber : Nair (2000)
Di antara hama di atas Helopeltis theivora merupakan jenis hama yang paling potensial menyebabkan kerusakan. Hal ini terjadi karena hama menghisap cairan tanaman yang masih berumur muda, sehingga akan mengakibatkan tanaman kekeringan lalu mati.
Penyakit pada tanaman akasia mangium yang teridentifikasi antara lain :
Busuk hati/penyebab jamur upas (Corticium salmonicolor). Gejala-gejala yang dijumpai yaitu :
-      Tanaman muda daun-daunnya mengalami klorosis, menguning hampir secara sistematik menyeluruh pada semua daun.
-      Terdapat bercak kecoklatan tidak beraturan pada helaian daun yang telah menguning kemudian mengering dan rontok
-      Pada akar ditemukan kerusakan dengan kulit akar mudah lepas
-      Terdapat gejala seperti tersiram air panas atau lonyoh
Adapun cara penanggulangan antara lain dengan cara :
-      Dengan aplikasi pupuk tepung belerang dan pupuk organik berupa humus atau pupuk kandang untuk menurunkan PH.
-      Mengganti jenis tegakan yang lebih mampu bertahan pada pH cukup tinggi.
F.      Hama dan Penyakit Tanaman Sonokeling
Serangan hama dan penyakit pada tanaman sonokeling hanya menyebabkan kerusakan kecil pada pohon (Prawiroadtmojo, 1993). Serangan hama umumnya menyerang akar yang disebabkan oleh Macrotermes gilvus dan Odontotermes grandiceps.
Kerusakan akibat penyakit pada tanaman ditandai dengan daun muda yang menggulung (nglinthing – Jawa) dan perubahan warna pada daun tua yang diikuti serangan warna merah pada kayu gubal yang akhirnya akan menyebabkan kematian. Serangan ini disebakan oleh jamur Fusarium solani.
Serangan penyakit lainnya adalah jamur akar Ganoderma yang dapat menyebabkan kematian pohon. Pada persemaian sonokeling kematian tinggi disebabkan oleh jamur dumping-off penyebab jamur upas (Corticium salmonicolor). 
G.    Hama dan Penyakit Tanaman Mindi
Mindi atau sering disebut dengan nama gringging (Melia azedarach L) merupakan tumbuhan berhabitus pohon termasuk dalam kelompok Meliaceae.  Pohon besar dapat mencapai tinggi 45 m, diameter mencapai 60 -120 cm. Berdasarkan pengamatan di lapangan tinggi bebas cabang 8-20 m bahkan dapat mencapai 25 m. Tajuk menyerupai payung, dengan percabangan melebar, kadang menggugurkan daun.
Hama dan penyakit yang menyerang tanaman mindi adalah hampir sama dengan jenis-jenis HPT yang menyerang tanaman mahoni. Penyakit yang berupa bakteri dan jamur yang menyerang bagian daun, ranting dan buah mindi, biasanya tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Pohon mindi mudah diserang penggerek pucuk Hypsipyla robusta dan batangnya diserang kumbang ambrosia Xyleborus ferrugineus yang dapat menyebabkan kualitas kayu menurun.
Pengendalian hama penggerek pucuk dapat dilakukan dengan tindakan silvikultur antara lain menggunakan bibit yang tahan hama dan penyakit, menanam pohon dengan lahan yang sesuai dan dilakukan penyiangan, pemupukan, pemangkasan cabang dan penjarangan untuk mengurangi serangan hama. Dapat pula dengan melakukan penanaman campuran dan memotong pucuk yang terserang. Cara lain dengan menyuntikkan insektisida setelah batangnya ditakik. (Balitbang Kehutanan, 2001).
H.    Hama dan Penyakit Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi)
Sedikit sekali di Indonesia dijumpai hama dan penyakit pada tanaman kayu putih. Berikut dijelaskan bebrapa jenis yang teridentifikasi pada hutan tanaman kayu putih di pulau Jawa.
1.   Hama Rayap
Hama rayap sering menjadi permasalahan utama penyebab kematian tanaman kayu putih di lapangan. Rayap menyerang tanaman umur 0 – 5 tahun, dengan resiko terparah pada tanaman kayu putih umur 0 – 1 tahun.  Serangan hama rayap terjadi pada kondisi hujan belum/tidak teratur (awal penghujan maupun akhir penghujan).
Rayap memakan akar atau kulit (jaringan floem) di leher akar dan pangkal batang. Bila akar tanaman muda diserang maka distribusi nutrisi dari tanah terputus sehingga tanaman layu dan mati. Bila kerusakan terjadi pada leher akar/pangkal batang menyebabkan akar tidak mendapat suplai makanan sehingga secara perlahan tanaman menjadi layu dan mati karena akar kehilangan energi untuk menyerap nutrisi dari tanah. Serangan pada bagian akar lebih beresiko dibandingkan serangan pada bagian leher akar.
Tingginya kasus serangan hama rayap pada tanaman kayu putih tidak terlepas dari tingginya bahan organik yang kaya selulosa yang menjadi sumber makanan rayap di sebagian besar lokasi tanaman kayu putih. Bahan organik tersebut berasal dari sisa-sisa tumpangsari (seperti : jagung, palawija, padi) yang berlangsung terus-menerus di lokasi tanaman kayu putih. Sisa panen umumnya ditumpuk di jalur tanaman pokok kayu putih. Dengan demikian rayap selalu ada di petak tanaman kayu putih dan menimbulkan resiko kerusakan tinggi pada tanaman muda.
Pencegahan dan Pengendalian :
      Pemanfaatan abu sisa serasah daun kayu putih atau sisa panen tumpangsari. Abu ditaburkan di pangkal batang pada saat tanaman rawan serangan rayap, dan atau ditabur di pangkal batang saat penanaman. Abu kayu dilaporkan dapat mencegah rayap mendekati tanaman.
      Monitoring rutin terutama pada musim-musim dimana rawan serangan rayap. Dengan monitoring rutin dapat diketahui secara dini gejala serangan, sehingga dapat segera diambil tindakan guna pengendaliannya, mengurangi resiko kerusakan lebih besar.
      Jika tanaman muda telah terserang (pangkal batang/leher akar sudah terkelupas), maka untuk mengurangi resiko kerusakan lebih parah (kematian), maka pangkal batang yang rusak perlu ditimbun tanah. Hal ini berguna untuk merangsang pembentukan kalus sehingga dapat tumbuh kulit baru ataupun tumbuh akar baru sehingga tanaman dapat tumbuh lagi.
      Mengurangi kerusakan mekanis, terutama pada lahan tumpangsari. Rusak/terputusnya akar akibat pengolahan tanah dapat meningkatkan stress (menurunkan vigoritas) tanaman sehingga tanaman mudah terserang hama penyakit. Untuk itu jalur tanaman pokok harus dibebaskan dari tanaman tumpangsari.
      Bibit yang ditanam di lapangan harus bibit siap tanam (ukuran tinggi minimal 40 cm, dalam kondisi sehat/vigor) sehingga lebih tahan terhadap stress lingkungan di lapangan. Bibit yang sehat cenderung kurang disukai oleh hama (rayap).
      Mencegah penumpukan sisa panen tumpangsari di jalur tanaman pokok ataupun tetap menumpuk di dalam petak tanaman, karena sisa panen yang menumpuk tersebut akan mengundang rayap. Serasah/sisa panen tumpangsari tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber penyedia abu, yang dapat digunakan untuk mencegah serangan rayap pada tanaman-tanaman muda.
      Menghilangkan sarang-sarang rayap.
      Pemilihan lokasi rendah resiko
2.   Hama Pengisap Pucuk dan Ulat Penggerek Pucuk Kayu Putih
     (Penyebab Pucuk Daun Kayu Putih Kering - Keriting)

Ada dua kelompok hama, yaitu kelompok hama pencucuk pengisap, dan kelompok hama penggerek pucuk/daun.
Kedua hama ini menyebabkan pucuk-pucuk tanaman kayu putih menjadi kering dan daun keriting. Hal ini mengakibatkan  produksi panen daun kayu putih menjadi berkurang.
Hama pengisap (ordo Homoptera-Hemiptera) yang mengisap pucuk-pucuk ranting, memiliki ciri-ciri sebagai berikut : warna coklat tua, ukuran panjang ± 1,5 mm, tipe mulut pencucuk pengisap, memiliki sungut/antena panjang, memiliki struktur mirip kornikel panjang di bagian posterior dorsal abdomen, jumlah kaki 3 pasang, tubuh keras. Hama ini menyebabkan pucuk tunas muda layu dan kering.
Di samping kutu coklat di atas, untuk kelompok hama pencucuk pengisap juga dapat dijumpai jenis kutu putih/kutu sisik (pseudococcidae = mealybug), yang sering bersimbiosis dengan semut hitam. Bilamana populasi tinggi keberadaan hama ini juga merugikan.
Adapun ulat penggerek pucuk menyebabkan daun berlubang-lubang, keriting, pucuk kering. Aktivitas ulat penggerek dengan kutu pengisap pucuk menyebabkan turunnya produksi biomassa kayu putih.
Pengendalian hama pucuk kayu putih
Kegiatan pengendalian dilakukan dengan penyemprotan insektisida, dilakukan bilamana kerusakan sudah mencapai ambang ekonomis. Insektisida yang digunakan adalah insektisida jenis kontak.
UPAYA PENCEGAHAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
Upaya pencegahan hama dan penyakit ditujukan untuk mempersempit potensi serangan HPT. Upaya tersebut adalah dengan mengelola/memanipulasi lingkungan bio-fisik yang tidak disukai HPT tersebut. HPT akan berkembang dengan baik jika lingkungan bio-fisik mendukung perkembangannya serta jumlah pakan/makanan tersedia melimpah. Oleh karena itu, upaya pencegahan HPT didorong pada upaya monitoring rutin dan sistem silvikultur yang mendukung tanaman dan tidak mendukung HPT.
A.     Monitoring hama dan penyakit
Monitoring hama dan penyakit sebagai sistem pencegahan serangan hama dan penyakit merupakan tindakan deteksi dini dan preventif untuk mengetahui secara cepat hama dan penyakit yang menyerang sehingga dengan segera dapat dilakukan tindakan pemberantasan. Monitoring secara prinsipnya dilakukan pada setiap elemen kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan terutama diarahkan pada elemen kegiatan dimana diindikasikan terkait erat dengan adanya serangan dan pemberantasan dan atau pengendalian hama dan penyakit tanaman.
Metode identifikasi hama dan penyakit menggunakan metode yang akan disampaikan pada berikutnya. Secara detail monitoring mencatat lokasi dan jumlah individu yang terserang, gejala dan tanda serta perkiraan kerugian dengan menggunakan dasar BSR atau nilai yang ditaksir serta waktu serangan. Adapun format Laporan Monitoring Hama dan Penyakit seperti pada lampiran buku ini.
Monitoring hama dan penyakit dilakukan pada kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai berikut ;
  1. Kegiatan Persemaian
Persemaian merupakan suatu areal atau tempat yang digunakan untuk memproses benih atau bahan lain dari tanaman menjadi semai atau bibit siap tanam. Keberhasilan pembuatan persemaian menjadi dasar bagian keberhasilan tahapan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan selanjutnya. Secara umum beberapa tahapan kegiatan persemaian antara lain :
      Perencanaan persemaian meliputi kegiatan pemilihan lokasi persemaian, penentuan luas persemaian dan kebutuhan benih.
      Persiapan lapangan meliputi pembuatan rencana tapak, pembuatan dan pemasangan pal batas, pembersihan lapangan, pengolahan tanah dan penataan lapangan, pembuatan bedengan, pembuatan naungan, penyiapan media dan penanganan benih.
      Penyemaian meliputi kegiatan perlakuan benih, pencapuran media tabur dan media sapih, penaburan dan penyapihan.
      Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiraman, pembersihan/penyiangan rumput, pemupukan, penyulaman dan seleksi.
Monitoring diarahkan dengan sasaran obyek semai mulai berkecambah sampai dengan bibit siap kirim ke lapangan. Dengan latar belakang bahwa semai mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi terhadap serangan hama dan penyakit maka monitoring dilaporkan setiap minggu oleh mandor persemaian.
Metode identifikasi hama dan penyakit menggunakan metode seperti disampaikan pada bab berikutnya. Secara detail monitoring mencatat lokasi dan jumlah individu yang terserang, gejala dan tanda serta perkiraan kerugian dengan menggunakan dasar BSR atau nilai yang ditaksir serta waktu serangan.
2.    Kegiatan Tanaman (1 – 3 tahun)
Kegiatan tanaman (1-3 tahun) terdiri dari kegiatan penanaman, pemeliharaan tahun I dan pemeliharaan tahun ke II.
a)      Kegiatan penanaman
Kegiatan penanaman terbagi ke dalam beberapa tahapan kegiatan yaitu :
         Persiapan lapangan meliputi kegiatan pembersihan (tumpangsari dilaksanakan bulan Mei; banjarharian bulan Agustus-September) dan pengolahan lapangan (tumpangsari bulan Mei-Agustus; banjarharian 1-2 bulan sebelum penanaman).
         Pembuatan dan pemasangan acir (tumpangsari bulan Agustus-September; banjarharian September-Oktober).
         Pembuatan lubang tanaman (bulan September-Oktober)
      Penanaman (November-Desember)
Pada kegiatan penanaman monitoring dilakukan setiap Triwulan  dilakukan oleh Mandor Tanam. Kerentanan pada lokasi tanaman Tahun I terjadi karena terkait siklus tata waktu hama dan penyakit yang bersamaan dengan mulainya musim penghujan.
b)   Kegiatan pemeliharaan tanaman tahun II dan III
Pemeliharaan dilakukan pada lokasi tanaman dengan sistem banjarharian meliputi :
         Babat jalur dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam satu tahun pada Triwulan I, II dan IV. Pembabatan tanaman secara jalur slebar 2 m pada jalur tanaman pokok.
         Dangir piringan dilaksanakan 2 (dua) kali dalam satu tahun pada Triwulan I dan IV. Dangir piringan berbentuk bundar dengan diameter 1 m pada tanaman pokok, pengisi dan tepi dilakukan pendangiran jalur.
Pada kegiatan pemeliharaan ini monitoring dilakukan setiap selesai pekerjaan  dilakukan oleh Mandor Tanam atau Mandor Pelaksana lainnya.
3.    Kegiatan Pemeliharaan 4-5 tahun
Kegiatan pemeliharaan 4-5 tahun (pemeliharaan lanjutan) merupakan rangkaian kegiatan silvikultur guna mendapatkan tegakan yang bernilai tinggi. Kegiatan tersebut ditujukan untuk membebaskan tanaman pokok dari gangguan persaingan dengan tumbuhan liar atau semak belukar tanpa mengganggu perakaran tanaman pokok. Kegiatan tersebut berupa :
        Kegiatan penyiangan/pembersihan tumbuhan liar
        Pemangkasan tanaman sela/pagar
        Pangkas cabang (pruning)
        Gebrus jalur
        Pemupukan
Pada kegiatan pemeliharaan ini monitoring dilakukan setiap selesai pekerjaan  dilakukan oleh Mandor RKP atau Mandor Pelaksana lainnya.
4.    Kegiatan Penjarangan
Penjarangan adalah suatu perlakuan silvikultur berupa pengaturan ruang tumbuh tanaman dan penyeleksian tegakan yang akan dipelihara hingga akhir daur sehingga diperoleh tegakan yang merata (ruang tumbuh tidak rapat), tumbuh sehat dan berbatang lurus dan memperoleh hasil antara dari kegiatan tersebut sehingga pada akhir daur dapat diperoleh tegakan hutan dengan massa kayu besar dan kualitas kayu tinggi. Pada kegiatan Tunjuk Seset Polet (TSP) yang merupakan kegiatan penentuan pohon-pohon yang akan ditebang dalam kegiatan penjarangan. Kriteria dan urutan prioritas pohon yang akan dimatikan adalah sebagai berikut :
        Pohon yang terserang penyakit
        Pohon yang cacat/jelek
        Pohon tertekan yang tingginya kurang dari ¾ peninggi (kecuali bila menimbulkan open plek).
        Pohon yang tumbuhnya abnormal
        Pohon yang terlalu rapat yaitu jaraknya lebih kecil dari jarak rata-rata normal.
Pada kegiatan penjarangan diharapkan tindakan penebangan jangan sampai menimpa pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut dapat mengakibatkan cacat yang berupa patah cabang, luka batang dan sebagainya yang akan mengakibatkan menjadi pintu masuk bagi inger-inger atau HPT yang lainnya.
B.     Sistem Silvikultur
Silvilkutur adalah ilmu dan seni dalam mengelola sumberdaya hutan sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pendekatan silvikultur merupakan pendekatan yang sangat penting dalam pencegahan hama dan penyakit tanaman. Pendekatan silvikultur dapat dianggap sebagai pencegahan hama dan penyakit terpadu, dimana permasalahan terletak pada beberapa faktor yang tidak dapat dikendalikan sehingga strategi diarahkan pada faktor yang dapat dikontrol. Pencegahan hama dan penyakit terpadu merupakan strategi yang menggunakan dan menggabungkan metode pengendalian yang dapat dikontrol dengan tujuan untuk mengendalikan populasi hama pada tingkat yang diterima, tanpa memusnahkan sama sekali yang dapat berakibat menggganggu keseimbangan ekosistem. Hal tersebut dilakukan dengan mengendalikan jumlah populasi hama dan penyakit serta lingkungannya sehingga diperlukan pengetahuan ekologi hama dan penyakit dan makluk hidup yang terkait dengannya.
Pengendalian hama terpadu juga harus mempertimbangkan biaya yang ada, jangan sampai biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pendapatan yang akan diterima. Kondisi lahan dan pengelolaan tegakan yang baik akan meminimalisir dampak kerusakan hama dan penyakit. Pada banyak kasus dijumpai bahwa lahan dengan tingkat drainase dan aerasi baik serta kondisi pH 5,5 – 7 merupakan lahan ”yang tidak nyaman” bagi tempat tinggal hama dan penyakit tanaman. Di sisi lain kondisi lahan yang dikelola dengan tidak memernuhi persyaratan tersebut akan membuat hama dan penyakit merasa cozy. (FAO, tanpa tahun).
Tindakan silvikultur diarahkan untuk mengendalikan populasi hama dan penyakit atau mengelola lingkungan sehingga meminimalkan dampak serangan hama dan penyakit. Efektifitas tindakan silvikultur juga tergantung pada karateristik hama dan penyakit yang menyerang. Cara silvikultur, dilakukan dengan menyediakan lingkungan tempat tumbuh tanaman hutan sehingga dapat diperoleh tanaman sehat dengan produktivitas tinggi. Aplikasi silvikultur untuk penanganan penyakit layu bakteri adalah dengan memperbaiki drainase lahan dan pengaturan jenis tanaman tumpangsari pada tanaman pokok jati/rimba.  Kedua langkah tersebut perlu dilakukan agar dapat diperoleh zona perakaran jati yang sarang, tidak jenuh air, sebuah persyaratan yang dibutuhkan bagi budidaya jati yang sehat. Perbaikan drainase lahan dilakukan dengan pembuatan parit-parit drainase khususnya di daerah-daerah dengan topografi datar. Jenis tumpangsari jati – padi cenderung menciptakan lingkungan tempat tumbuh yang buruk bagi tanaman pokok jati. 
Beberapa tindakan atau kegiatan yang dilakukan guna melakukan pencegahan hama dan penyakit antara lain :
1.      Lingkungan fisik
a)      Pengaturan drainase
Pengaturan drainase bertujuan untuk menciptakan sistem tata air mikro yang dapat menciptakan drainase yang baik sehingga tingkat kelembaban pada kondisi yang tidak dapat atau menghambat tumbuh dan berkembangnya hama dan penyakit.
b)      Pengolahan tanah
Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan tingkat aerasi yang baik yang berguna bagi tanaman pokok dan menciptakan lingkungan yang tidak nyaman bagi hama dan penyakit.
Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan menambahkan pupuk sehingga kandungan humus akan meningkat. Maka kemampuan tanah untuk mengikat air menjadi tinggi dan tanah menjadi tidak mudah kering.
2.    Lingkungan Biologi
a)      Pemilihan jenis yang tepat
Jenis tanaman dengan sifat resisten terhadap serangan hama dan penyakit dapat diperoleh secara alami atau dengan penerapan bioteknologi berupa pemuliaan pohon. Setiap spesies atau varietas mempunyai mekanisme pertahanan terhadap hama dan penyakit yang berbeda. Pemilihan jenis yang resisten ini tidak  dapat bertujuan untuk menghilangkan hama sama sekali karena hama juga mempunyai mekanisme evolusi tersendiri untuk beradaptasi tapi minimal dapat menekan laju perkembangan hama dan penyakit.
Pemilihan jenis yang tepat dapat dilakukan dengan pengamatan umum tegakan yang telah lama tumbuh di tempat (indigenous trees) dengan mempertimbangkan aspek lainnya. Penanaman jenis eksotis harus dicampur dengan jenis lokal guna meminimalisir dampak serangan hama dan penyakit.
b)      Pemilihan bibit yang sehat
Pemilihan bibit yang sehat sangat penting dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap HPT yang dicirikan dengan batang kuat, daun segar (hijau dan tidak berlubang), fisik tidak tampak adanya serangan bakteri patogen, dll.
c)      Pengaturan pola tanam dan jarak tanam
Pengaturan pola tanam terkait dengan hama dan penyakit ditujukan untuk menciptakan tingkat kelembaban tanah yang tidak terlalu tinggi. Pola tanam dan pemilihan jenis tanaman tumpangsari yang dapat mendukung berkembangbiaknya hama dan penyakit. Pengaturan pola tanam dan jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman. Pengaturan jenis tumpangsari, perlu dipilih jenis tanaman tumpangsari yang tidak mensyaratkan penggenangan air/tanah dan selalu lembab. Apabila kondisi lahan cenderung lembab agar diupayakan penggantian jenis non jati yang toleran terhadap kelembaban tanah yang tinggi.
d)      Pemeliharaan intensif
Kegiatan pemeliharaan intensif dapat dilakukan melalui :
      Pembersihan tanaman dari faktor-faktor pengganggu (gulma, benalu)
      Pemupukan (dilakukan pada awal penanaman, selang 3 bulan/6 bulan, setelah 2 tahun tidak dilakukan pemupukan)
      Pemantauan adanya hama yang harus dilaksanakan secara terus-menerus
e)      Penjarangan
Pada kegiatan Tunjuk Seset Polet (TSP) yang merupakan kegiatan penentuan pohon-pohon yang akan ditebang dalam kegiatan penjarangan. Kriteria dan urutan prioritas pohon yang akan dimatikan adalah sebagai berikut :
        Pohon yang terserang penyakit
        Pohon yang cacat/jelek
        Pohon tertekan yang tingginya kurang dari ¾ peninggi (kecuali bila menimbulkan open plek).
        Pohon yang tumbuhnya abnormal
        Pohon yang terlalu rapat yaitu jaraknya lebih kecil dari jarak rata-rata normal.
Pada kegiatan penjarangan diharapkan tindakan penebangan jangan sampai menimpa pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut dapat mengakibatkan cacat yang berupa patah cabang, luka batang dan sebagainya yang akan mengakibatkan menjadi pintu masuk bagi inger-inger dan HPT lainnya.
Rencana pengelolaan perlindungan sumber daya hutan dari gangguan hama dan penyakit tanaman secara lengkap sesuai dengan Lampiran 1.



UPAYA PENGENDALIAN SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT
A.  Identifikasi Gejala Dan Tanda Kerusakan Tanaman
Identifikasi gejala dan tanda kerusakan ditujukan untuk memudahkan dalam mengambil kebijakan pengendaliannya. Kesalahan dalam identifikasi tanda dan gejala akan mengakibatkan kesalahan dalam pengendalian serangan HPT. Selain untuk mengidentifikasi serangan hama dan penyakit juga untuk mengetahui penyebab kerusakan apakah disebabkan oleh hama atau penyakit (patogen atau abiotik).
Mekanisme pelaksanaan identifikasi gejala dan tanda dan inventarisasi lokasi terkena HPT adalah sebagai berikut :
  1. Asper/KBKPH beserta KRPH melakukan kegiatan inventarisasi lokasi/petak-petak yang terserang hama penyakit. Inventarisasi lokasi dilakukan untuk mengetahui data-data detail meliputi : letak/lokasi, jenis tanaman yang terserang hama dan penyakit tanaman, luasan atau jumlah individu dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan serta proses kronologis serangan hama dan penyakit.
  2. Asper membuat laporan hasil inventarisasi ke KPH untuk dilakukan identifikasi gejala dan tanda serangan hama dan penyakit.
  3. Berdasarkan laporan dari BKPH, KPH membentuk tim pemeriksaan/identifikasi.
  4. Bersama Puslitbang SDH tim pemeriksa melakukan pemeriksaan dan identifikasi gejala dan tanda serangan hama dan penyakit dengan cara :
a)      Mengenali bentuk kerusakan pada tanaman yang terserang
       Kerusakan oleh penyakit tanaman lebih berisifat fisiologis, kemunduran aktifitas seluler yang secara visual ditunjukkan oleh perubahan morfologi tanaman inang (gejala) seperti : klorosis daun, layu pucuk, bercak daun, busuk pangkal batang, busuk akar dan lainnya. Dengan demikian organ-organ tanaman seperti daun, ranting, batang dan akar tanaman umumnya utuh tanpa kerusakan fisik-mekanik.
       Kerusakan oleh hama umumnya bentuk kerusakan berupa kerusakan/hilangnya bagian-bagian fisik tanaman secara jelas, akibat aktifitas serangga hama dalam mencari makanan, seperti akar muda putus bekas gerekan serangga, batang berlubang bekas gerekan serangga, daun rusak bekas aktifitas serangga. Namun demikian ada tipe kerusakan oleh serangan hama yang tidak menunjukkan adanya kerusakan fisik-mekanik organ tanaman, kerusakan yang nampak sekilas mirip kerusakan oleh penyakit tanaman.
b) Mengenali bentuk organisme penyebab kerusakan
      Langkah selanjutnya setelah mengenali bentuk kerusakan adalah mengamati penyebab spesifik jenis hama atau penyakit yang menyerang tanaman. Umumnya lebih mudah dikenali pada saat pengamatan lapangan dilakukan. Pengenalan jenis serangga yang menyerang dilakukan dengan mengamati serangga hama, sisa-sisa sekresi dan sekresi serangga.
      Kelompok serangga-serangga yang banyak menyebabkan kerusakan tanaman kehutanan antara lain : ordo Orthoptera (belalang), Coleoptera (kumbang bersayap keras), Lepidoptera (ulat), Isoptera (rayap), Hymenoptera(kelompok lebah dan tabuh-tabuhan) dan Hemi-homoptera(kelompok serangga pencucuk pengisap). Kelima ordo pertama menyebabkankerusakan fisik-mekanik secara nyata. Sedangkan ordo Hemi-homopteratidak menunjukkan bentuk kerusakan fisik-mekanik organ tanaman, sehingga secara sekilas bentuk kerusakan mirip gejala penyakit.
    Penyebab spesifik kerusakan oleh penyakit memerlukan langkah identifikasi lebih rumit dan lama. Gejala kerusakan yang disebabkan penyakit biotik maupun abiotik secara visual sama. Penyakit biotik di hutan antara lain disebabkan jamur patogen, bakteri patogen dan virus. Identifikasi secara umum penyebab kerusakan akan mudah dilakukan bilamana dapat dijumpai tanda-tanda penyakit (tubuh buah, hifa dan spora dari kelompok jamur serta lendir pada jaringan xylem pada kasus serangan layu bakteri).
    Adapun faktor abiotik di lapangan antara lain disebabkan oleh defisiensi hara (lahan kritis), defisiensi air (musim kemarau panjang) dan drainase buruk. Untuk mengenali faktor abiotik dilakukan dengan mengumpulkan informasi tentang curah hujan, pengamatan kondisi lahan (kondisi  solum tanah, bentuk topografi lahan) dan lain-lain.
5. Kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan intensitas serangan. Kegiatan ini dengan cara membuat petak ukur (PU) dengan bentuk lingkaran dengan jari-jari (r) 17,8 m atau sensus.
6.  Berdasarkan hasil identifikasi, disusun BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang berisi intensitas serangan dan rekomendasi pengendaliannya.
7.  Pengambilan foto/dokumentasi
Pengambilan dokumentasi dilakukan sebagai bukti visual dan sebagai bahan penelahaan bagi solusi penanganannya.
B.   Analisa Terhadap Tempat Tumbuh dan Lingkungan
1.    Analisa tempat tumbuh dan pengambilan sampel tanah
Data-data yang diperlukan guna analisa tergantung keperluan arah analisa yang akan dilakukan. Secara umum informasi yang perlu dikumpulkan antara lain data curah hujan, temperatur, pengamatan kondisi lahan (kondisi solum tanah, topografi dan lain-lain). Analisa tempat tumbuh untuk mengetahui kondisi drainase, aerasi pH  dan bila memungkinkan mengetahui kandungan unsur hara tanah untuk mengetahui kemungkinan adanya defiesiensi hara atau air.
2.    Pengambilan sampel tanaman/bagian tanaman
Pengambilan sampel tanaman atau bagian tanaman diperlukan guna melakukan pengamatan dan identifikasi yang lebih spesifik atau mengetahui organisme perusaknya. Identifikasi bisa menggunakan dasar literatur yang ada ataupun melakukan konsultasi dengan ahli atau instansi terkait.
C.  Studi Literatur Untuk Kajian Pembanding
Studi literatur diperlukan sebagai pembanding guna lebih memantapkan langkah-langkah yang akan diambil. Studi literatur disarankan untuk mengkaji lebih dari 2 sumber literatur guna memperkaya sudut pandang.
D.  Penyusunan Rekomendasi Pemberantasan Hama dan Penyakit
Rekomendasi pengendalian dengan 3 pilihan :
a.    Pemeliharaan bila dikarenakan faktor abiotik
b.    Pemberantasan (lihat bab berikutnya)
c.    Tebangan D2 hama dan penyakit
      Berdasarkan hasil rekomendasi dari BAP, maka KPH membuat usulan suplisi RTT pemeliharaan/pemberantasan HPT dan atau tebangan D2 penyakit ke SPH untuk mendapatkan pertimbangan dan selanjutnya untuk mendapat pengesahan dari Biro Perencanaan Unit..
      Bersamaan dengan itu, KPH mengajukan usulan otoritas anggaran kepada Biro Pembinaan dan Konservasi yang selanjutnya mendapatkan pengesahan anggaran.
PEMBERANTASAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
A.  Secara Fisik Mekanik
Pembasmian hama dan penyakit secara fisik dapat dilakukan melalui:
1.      Pemangkasan lokal ; bagian tanaman yang terserang dipotong atau dipangkas, hasil pangkasan kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan aman, lalu dilakukan pembakaran.
2.      Dicabut ; jika tanaman yang diserang dalam ukuran kecil (umur < 5 tahun atau bibit di persemaian) dan hampir semua bagian tanaman terserang maka tanaman tersebut di cabut sampai ke akarnya kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan aman lalu di bakar.
3.      Ditebang ; jika intensitas serangan tinggi (hampir semua bagian tanaman diserang/>70 % bagian tanaman diserang) atau sudah sangat parah dan tanaman berumur lebih dari 5 tahun, maka dilakukan tebangan D2 penyakit. Prosedur penebangan mengikuti prosedur tebangan yang sudah ada.
4.      Dalam kegiatan pemangkasan dan penebangan harus memperhatikan aspek keselamatan kerja dengan mengacu pada prosedur kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang sudah ada.
5.      Penghalang isolasi adalah daya upaya yang dijalankan untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit tanaman berdasarkan peraturan perundang-undangan
6.      Pemberian abu kayu pada serangan rayap
7.      Perlakuan panas
Pembasmian hama dan penyakit secara mekanik dapat dilakukan melalui:
1. Pengambilan menggunakan tangan. Dapat dilakukan pada jenis hama ulat dan belalang, dengan intensitas serangan hama dalam skala kecil.
2. Penangkapan bersama-sama oleh banyak orang (gropyokan-Jawa) pada hama belalang.
3. Pemasangan perangkap antara lain ;
o       Penggunaan lampu perangkap (light trap) untuk hama penggerek batang pada fase kupu-kupu. Lampu perangkap ini dipasang pada saat malam hari, peralatan yang diperlukan berupa : kain putih 2 x 1,5 m, lampu bohlam/neon, dan nampan penampung air. Kupu/ngengat yang diperoleh kemudian dimusnahkan.
      Penggunaan perangkap kertas warna (colour trapping) untuk hama lalat putih. Warna kertas yang digunakan bisa berwarna kuning atau lainnya yang cerah. Kertas terlebih dahulu diberi lem perekat atau racun tikus atau ter agar hama terperangkap pada kertas tersebut.
B.  Penggunaan Pestisida
1. Biopestisida/Pesticida organik
Penggunaan pestisida organik dapat berupa bakterisida atau insektisida yang disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit dan sesuai dengan dosis yang dianjurkan (sesuai Lampiran buku petunjuk pengendalian hama dan penyakit). Beberapa contoh tanaman yang bisa digunakan sebagai pesticida misalnya daun mimbo, mahoni, gadung, tembakau, daun sirsak dan sebagainya. Atau jika dalam keadaan yang sangat memaksa bisa menggunakan pestisida kimia dengan catatan penggunaannya harus mengacu pada prosedur kerja Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang sudah ada. Contoh-contoh pestisida organik dan cara pembuatannya sesuai Lampiran 3.
2.      Pestisida kimia
Penggunaan pesticida kimia harus diminimalisir. Jika atas pertimbangan ekologi dan social terpaksa harus menggunakan pesticida kimia, maka pemilihan jenis pestisidanya harus yang tidak dilarang oleh FSC, WHO maupun peraturan perundangan yang lainnya serta menggunakan prosedur keamanan dan keselamatan sesuai dengan Lembar data keselamatan bahan masing-masing (lihat MSDS). Beberapa jenis pesticida kimia yang beredar di Indonesia terlampir (Lampiran 2). Penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara :
a) Dioleskan/bacok oles; cara ini digunakan untuk jenis pesticida sistemik, contoh untuk pemberantasan hama penggerek batang atau penggerek pucuk. Aplikasinya dengan membuat lubang pada batang dengan paku kemudian cairan insektisida dimasukkan ke lubang atau melukai kulit batang sampai dengan bagian luar kayu gubal (jaringan sebelah dalam jaringan kambium), kemudian insektisida dioleskan dengan kuas atau disemprotkan ke bekas bacokan. Selanjutnya insektisida akan diangkut melalui jaringan gubal ke bagian batang atas.
b) Ditabur pada tanah atau di campur dengan media tanam atau media semai. Cara ini digunakan untuk jenis pestisida berwujud granular (kode G dalam kemasan).
c) Disemprot langsung pada target hama/penyakit. Cara ini digunakan untuk jenis pestisida racun kontak atau racun lambung yang memiliki kode SC, WP, EC.
d) Fumigasi; cara ini digunakan untuk jenis-jenis pestisida fumigan. Contohnya untuk memberantas oleng-oleng dalam fase larva. Caranya dengan memasukan insektisida fumigan pada lubang gerek kemudian lubang ditutup malam.
Cara penggunaan bergantung jenis hama yang menyerang dan kondisi tanaman yang diserang.
C.  Musuh Alami
Penggunaan musuh alami dengan pengendalian biologis  yaitu penggunaan serangga atau bakteri dalam pengendalian hama secara innundative(pelepasan musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh alami secara tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami kita pilih musuh alami yang paling dekat dengan target hama, kita pilih yang terbatas/lebih sedikit sehingga tidak akan menyerang di luar target. Penggunaan musuh alami harus mengacu pada aturan penggunaan kontrol biologi.
Penciptaan musuh alami juga dibarengi dengan penciptaan habitat hidup bagi predator alami tersebut misalnya penanaman pohon atau tegakan sebagai tempat bersarang atau penghasil biji makanan predator. Secara umum prinsip penggunaan musuh alami tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada.
PENGELOLAAN PASCA PENGENDALIAN
A.  Pengumpulan Data Dan Informasi Kerusakan
Sebagai bahan evaluasi diperlukan pengumpulan data lebih lanjut terkait dengan jumlah pohon dan volume pohon per m³ serta analisa tingkat kerugiannya. Juga dilakukan pemetaan lokasi yang diserang dengan peta kerja skala 1 :10000.
B.  Sanitasi Lokasi Bekas Serangan Hama Dan Penyakit
Sanitasi lokasi bekas serangam dilakukan guna lebih menjamin bahwa pada lokasi tersebut sudah benar-benar bersih dari sumber dan faktor-faktor yang dapat menstimulasi berkembang kembali hama dan penyakit. Sanitasi dapat dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :
a.    Pembakaran Tumbuhan Bawah
Pada proses pembakaran tumbuhan bawah diharuskan untuk membuat sekat bakar/ilaran api dengan menggunakan sekat bakar alami (menggunakan tanaman yang dapat menahan api)
b.    Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Pengolahan tanah tetap mempertahankan kesuburan tanah
Peralatan yang digunakan tidak merusak tanah
Pembersihan areal dilakukan dengan tujuan mengurangi sumber hama.
C.  Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi ditujukan untuk kembali memulihkan kondisi sumberdaya hutan seperti pada kondisi semula. Kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan penggunaan bibit unggul, pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan arealnya, dan penggunaan jenis tanaman resisten dengan penjelasan sebagai berikut  :
Pemilihan bibit yang sehat
      Pemilihan bibit yang sehat sangat penting dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap HPT yang dicirikan dengan batang kuat, daun segar (hijau dan tidak berlubang), fisik tidak tampak adanya serangan bakteri patogen dan lain-lain.
      Pengolahan tanah
Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan tingkat aerasi yang baik yang berguna bagi tanaman pokok dan menciptakan lingkungan yang tidak nyaman bagi hama dan penyakit.
Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan menambahkan pupuk sehingga kandungan humus akan meningkat. Dengan demikian kemampuan tanah untuk mengikat air menjadi tinggi dan tanah menjadi tidak mudah kering. Pengaturan drainase untuk menciptakan sistem tata air mikro yang dapat menciptakan drainase yang baik sehingga tingkat kelembaban pada kondisi yang tidak dapat atau menghambat tumbuh dan berkembangnya hama dan penyakit.
      Pemilihan jenis yang tepat
Jenis tanaman dengan sifat resisten terhadap serangan hama dan penyakit dapat diperoleh secara karakter alami atau dengan penerapan bioteknolgi berupa pemuliaan pohon. Setiap spesies atau varietas mempunyai mekanisme pertahanan terhadap hama dan penyakit yang berbeda. Pemilihan jenis yang resisten ini bukan bertujuan untuk menghilangkan hama sama sekali karena hama juga mempunyai mekanisme evolusi tersendiri untuk beradaptasi, tetapi minimal dapat menekan laju perkembangan hama dan penyakit.
Pemilihan jenis yang tepat dapat dilakukan dengan pengamatan umum tegakan yang telah lama tumbuh di tempat (indigenous trees) dengan mempertimbangkan aspek lain tentu saja. Panaman jenis eksotis harus dicampur dengan jenis lokal guna meminimalisir dampak serangan hama dan penyakit.
      Pengaturan pola tanam dan jarak tanam
Pengaturan pola tanam terkait dengan hama dan penyakit ditujukan untuk menciptakan tingkat kelembaban tanah yang tidak terlalu tinggi. Pola tanam tumpangsari dapat mendukung berkembang biaknya hama dan penyakit jika tidak tepat dalam pemilihan jenisnya. Pengaturan pola tanam dan jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman. Pengaturan jenis tumpangsari, perlu dipilih jenis tanaman tumpangsari yang tidak mensyaratkan penggenangan air/tanah dan selalu lembab. Apabila kondisi lahan cenderung lembab agar diupayakan penggantian jenis non jati yang toleran terhadap kelembaban tanah yang tinggi.
D.  Monitoring dan Evaluasi
Untuk mengetahui efektifitas dari upaya pemberantasan mendapatkan data pengamatan dari upaya penanggulangan yang dilakukan, dilakukan pengamatan periodik pada lokasi yang pernah terserang hama dan penyakit  dibuat plot pengamatan permanen yang terdiri atas berbagai perlakuan yang diterapkan
Monitoring dilakukan satu bulan sekali/penilaian kondisi tanaman dilakukan sebelum pembuatan maupun secara berkala setelah aplikasi perlakuan sangat penting dilakukan.
KESIMPULAN
Pengendalian hama dan penyakit pada hutan tanaman yang menerapkan sistem monokultur harus dikelola dengan baik. Pemilihan teknik pengendalian yang tepat sesuai dengan jenis hama dan penyakit yang menyerang akan menentukan keberhasilan dan efectivitas pengendalian, dan untuk mengetahui jenis hama dan penyakit yang menyerang perlu dilakukan identifikasi gejala dan atau tanda serta kondisi lingkungan yang mendukung.
Pemilihan teknik pengendalian harus mempertimbangkan aspek lingkungan, social dan ekonomi. Sehingga penerapan pengendalian hama penyakit terpadu adalah lebih baik, dan penggunaan pestisida kimia harus diminimalkan. Dan jika dengan terpaksa harus menggunakan pestisida kimia maka aspek keamanan dan keselamatan harus diterapkan serta tidak menggunakan jenis pestisida kimia yang dilarang digunakan di dalam kawasan hutan yang bersertifikasi FSC.
DAFTAR PUSTAKA
Hendromono dkk. 2001. Mindi Melia azerdarach L. Balitbang Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta
Nair, KSS. 2001. Pest Outbreaks In Tropical Forest Plantation. CIFOR. Bogor
Nair, KSS. 2000. Insect Pests And Diseases In Indonesia Forest. CIFOR. Bogor
Priyanto, Hari. 1999. Survey Of Entofauna with Emphasis On Pest In Teak (Tectona grandis L.f) In Central Java And East Java, Indonesia. Thesis. Gottingen, Germany
Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. 2007. Prosiding Hasil Penelitian dan Pengembangan. Puslitbang SDH Perhutani. Cepu
Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. 2008. Seri Informasi Teknik Pengendalian Hama-Penyakit Tanaman Hutan (Jati, Pinus, Kayu Putih, Sengon). Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. Cepu.
Veronique de tillese et al, Tanpa Tahun. Damaging Poplar Insects, Internationally Important Insects. International Poplar Comissión. Belgia.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar