laporan politik dan kebijakan kehutanan

Bookmark and Share


Pengelolaan hutan di Indonesia secara lebih terarah dan terencana, dimulai dengan dikeluarkan UU No.5 Tahun 1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan atau disingkat UUPK. Akan tetapi sebenarnya politik dan kebijakan kehutanan sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945, yakni zaman kolonia Belanda, yang arah politik dan kebijakan mengarah pada kepentingan penguasa colonial.
Menurut Tim Penulisan Sejarah Kehutanan Indonesia (TPSKI) 1986, pengaturan …dan selanjutnya pelarangan penebangan selama 25 tahun..hutan jati (Tectono grandis) di Jawa (khususnya di pekalongan) dimulai pada abad XVIII. Hal ini sebagai tonggak perkembangan sejarah politik dan kebijakan kehutanan di Indonesia. Tujuan kebijakan pada waktu itu untuk melakukan usaha konservasi hutan yang semakin menipis .
Penguasaan sumber daya hutan oleh Negara, termasuk hutan sebagai sumber kehidupan sehari-hari masyarakat mulai sangat penting setelah dikeluarkan Reglement Hutan No.6 Tahun 1865. Menurut Simon (1993), dengan ditentukan batas kawasan yang ditetapkan Belanda berdasarkan “Domeinverklaring” pada tahun 1870, sebenarnya justru berhasil menyelamatkan kawasan hutan di Jawa hingga seperti sekarang ini ( meliputi 22% dari luar daratan Jawa). “Domeinverklaring” pada intinya, yaitu, bahwa semua tanah yang dimiliki pihak lain (individu dan komunal) jika tidak dapat membuktikan tanah ( eigendomnya), merupakan domein (dikuasai ) oleh Negara.
Perkembangan politik dan kebijakan kehutanan selanjutnya seiring dengan perkembangan perkebunan besar diluar Jawa, khususnya tanaman karet di Sumatera, yang ditandai dengan banyak masyarakat Jawa dikirim dan dipekerjakan sebagai kuli diperkebunan-perkebunan besar diluar Jawa (Konentjaraningrat, 1982). Dengan demikian secara administrasi sektor perkebunan menjadi satu dengan kehutanan, sebelum akhirnya dipisahkan awal abad ke-20.
Di masa kolonial Belanda ada beberapa hal positip kebijakan di bidang kehutanan antara lain: lahirnya jawatan kehutanan, pembentukan lembaga penelitian kehutanan, dan penerbitan berbagai kebijakan (khususnya Jawa dan Madura), hanya saja sangat disayangkan, bahwa akhir politik kehutanan kolonia belanda pada akhir tahun 40-an ditandai dengan politik bumi hangus. Yang berakibat pada ke rusakan sumber daya hutan dan timbulnya penyerobotan tanah dibeberapa tempat .
Politik dan kebijakan kehutanan untuk luar Jawa, semakin tidak jelas pada masa penjajahan Jepang, bukan ditata tetapi hutan-hutan yang ada khususnya di Jawa justru dijadikan sebagai basis atau dimanfaatkan bagi kepentingan perang untuk mendukung industry persenjataan dan bahan baku pembuatan kapal. Banyak arel hutan dialihkan keareal pertaniaan, guna menjamin ketersedian pangan bagi para serdadunya.
Setelah revolusi fisik hingga awal orde baru pada pertengahan tahun 60-an, pembenahan administrasi kehutanan dan upaya-upaya pemanfaatan hutan bagi usaha dalam rangka meningkatkan perekonomian Negara baru dimulai. Dalam perkembangan mulai dibentuknya Jawatan Kehutanan Republic Indonesia (dibawah Menetri Pertanian), yang pada tahun 1964 menjadi Depertemen Kehutanan (Keppres No. 170 Tahun 1966), dilakukan perintis pendirian industry perkayuan diluar Jawa (Kalimanatan) dan rancangan untuk membangun hutan industry. Untuk desentralisasi dalam hubungan dengan pengelolaan kehutanan keluarlah PP No.54 Tahun 1957.
UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, merupakan undang-undang yang tidak ada hubungan dengan kebijakan kehutanan, namun sangat mempengaruhi dalam pengusahaan hutan. Melalui pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan, “ Bumi dan air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini memperjelas posisi Negara sebagai penguasa sumber daya hutan, termasuk hutan. Kemudian pada pasal 2 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960, tegas bahwa, “ atas dasar pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Perubahan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, dengan keluarnaya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.6 Tahunb 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, serta UU No.5 Tahun 1967. Telah terjadi perubahan pada masyarakat local sekitar hutan pada waktu itu, sebagai contoh di Kalimantan Timur, bahwa eksploitasi hutan dimulai dengan bebas, mencapai puncaknya pada saat “ banjir kap” ( Timber boom) ditahun 1965-1970 . Dari studi walhi Kaltim 1993, pada saat itu tidak hanya petani yang meninggalkan usaha ladangnya, tetapi juga banyak PNS yang meninggalkan tugasnya untuk beralih profesi kebidang perkayuan. Efek positipnya banjir kap telah member keuntungan dan kemakmuran sesaat pada kehidupan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Banjir kap mulai surut dengan adanya PP no.21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
Dalam pola HPH dan HPHH, selanjutnya politik dan kebijakan kehutanan, mulai didukung dengan aspek perlindungan alam, ditandai keluarnya UU No.5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No.4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perubahan UU No. 22 Tahun 1999 Jo UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25 Tahun 1999 jo UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Ini juga ada perubahan dibidang Undang-undang kehutanan dengan keluarnya UU No.41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Adanya perubahan kebijakan dan perubahan UU kehutanan, sebenar lebih lengkap, namun dalam pelaksanaan kebijakaan kehutanan yang ada, membuat hutan kita semakin hancur. Kedepan semua pimpinan anak bangsa mulai bijak dalam mengambil keputusan dan memandang hutan, sebagai sumber daya alam yang perlu dilestarikan demi kepentingan anak cucu kita.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar