makalah lengkap perhutanan sosial

Bookmark and Share



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut Tiwari (1983) dalam Suharjito dan Darussman (1998), social forestry adalah ilmu pengetahuan dan seni menumbuhkan pohon-pohon dan atau vegetasi lain pada lahan yang tersedia, di dalam dan di luar areal hutan tradisional dengan melibatkan masyarakat untuk tujuan menghasilkan tata guna lahan yang seimbang dan saling melengkapi.
Untuk menunjang keberhasilan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Perum Perhutani, diperlukan lembaga masyarakat desa hutan yang merupakan wadah bagi masyarakat sekitar hutan yang bersedia memelihara kelestarian hutan dengan jalan menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani.
      Berbagai penelitian mengenai Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat telah banyak dilakukan di Perum Perhutani. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudaryanti (2002) dalam penelitian menunjukkan bahwa dengan adaanya kedinamisan kelompok terjadi perubahan produktivitas anggota dalam kategori sedang. Pujo (2002) Alasan berpartisipasi peserta Program Kehutanan Sosial pada umumnya karena alasan terinduksi dan bahkan masih ada yang tidak berpartisipasi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berpartisipasi terhadap program, karena adanya peran / dorongan dari orang luar baik dari kelembagaan yang bersifat formal maupun non formal.
      Menurut Kusumaningtyas (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Desa Cileuya pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan pada Program PHBM termasuk dalam kategori tinggi. Dengan demikian tingkat partisipasi masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dikategorikan tinggi. Namun penelitian-penelitian tersebut hanya menjelaskan pada kedinamisan kelompok dan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan bersama Perum Perhutani. Belum melihat pada aspek kolaborasi antara Perum Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, penting kiranya dilakukan penelitian guna mengetahui kondisi kolaborasi, karena berkaitan dengan program yang sedang berjalan selama ini. Untuk pengelolaan hutan saat ini, bukan lagi mutlak menjadi domain satu stakeholder, dalam hal ini Perum Perhutani. Dalam penelitian ini tetap memperhatikan aspek dinamika kelompok dan aspek partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam Program PHBM.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan dari Makalah ini adalah
1.  Apa keragaan dinamika kelompok yang telah dicapai ?
2.  Bagaimana partisipasi masing-masing lembaga masyarakat desa hutan ?
3.  Bagaimana kolaborasi yang terbangun selama ini antara Perum Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan dalam Program PHBM ?
C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui kedinamisan antar lembaga masyarakat desa hutan yang terdapat dalam Program PHBM
2.  Untuk mengetahui partisipasi lembaga masyarakat desa hutan dalam Program PHBM.
3.  Untuk mengetahui kolaborasi antara Perum Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan dalam Program PHBM.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah suatu program dari Perum Perhutani yang gagasanya di lansir pertama kali pada tahun 1999. Mengikuti program serupa di Nepal yakni Joint Forest Management (JFM).
      Program PHBM ini bermaksud untuk meningkatkan hubungan yang harmonis antara pengelola hutan (Perhutani) dengan masyarakat di sekitarnya dengan cara berbagi kewenangan dan berbagi hasil pengelolaan (Affianto, 2005).

Menurut Haeruman (2005), tujuan di laksanakan program PHBM adalah :
1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan melepaskan dari kemiskinan, membangun pemupukan modal masyarakat.
2.  Meningkatkan kemampuan teknologi dan manajemen organisasi masyarakat lokal dalam melaksanakan PHBM.
3.  Membangun PHBM secara struktural, sehingga PHBM menjadi salah satu andalan usaha rakyat.
4.  Meningkatkan keanekaragaman jenis usaha dan jenis hasil yang lebih unggul dan tahan terhadap gejolak ekonomi.
5.  Meningkatkan sediaan sumberdaya kehutanan bagi pengembangan sector kehutanan yang lebih luas. Ini terbentuk sebagai hasil akhir dari keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat.

     Pada umumnya masyarakat yang tergabung dalam program pengelolaan hutan yang di lakukan oleh Perum Perhutani adalah kelompok masyarakat yang tidak mempunyai lahan. Menurut Kartasubrata (1986) kepemilikan lahan yang ada dalam rumah tangga masyarakat pedesaan terbagi menjadi empat lapisan. Lapisan pertama yaitu rumah tangga yang memiliki lahan kurang dari 0,10 Ha atau tidak berlahan, lapisan kedua yaitu rumah tangga yang memiliki lahan antara 0,11Ha sampai 0,25 Ha, Lapisan ketiga yaitu rumah tangga yang memiliki lahan antara 0,26 Ha sampai 0,5 Ha dan lapisan terakhir yaitu rumah tangga yang memiliki lahan lebih dari 0,50 Ha.

B.  Lembaga Masyarakat Desa Hutan
Lembaga Masyarakat Desa Hutan merupakan suatu komunitas masyarakat yang tergabung dalam suatu wadah / organisasi, baik karena kesamaan profesi antara lain Kelompok Masyarakat Desa Hutan (KMDH), Kelompok tani Hutan (KTH), Kelompok Tani Penghijauan (KTP), maupun karena kesamaan tempat tinggal di dalam suatu desa (Pemda Nganjuk, 2002).
     Menurut Sudaryanti (2002), pembentukan kelompok pada masyarakat yang tinggal di sekitar desa hutan merupakan upaya untuk mewujudkan keberhasilan pelaksanaan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kelompok yang di bentuk tersebut dapat merupakan sarana masyarakat desa hutan menyampaikan aspirasi dan atau menerima informasi dari pihak Perum Perhutani, sehingga hubungan antara keduanya diharapkan terjalin dengan baik. Selain itu, kelompok dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama antara pesanggem dalam hal ini adalah modal, tenaga kerja, dan informasi serta lebih efektif melakukan kontrol sosial (Wong 1979 dalam Suharjito 1994).      Kehadiran ketua sebagai pemimpin dalam kelompok sangat penting. Menurut Simon et al. (diacu dalam Mulyana, 2001) Pemimpin harus menjadi motor penggerak organisasi dan harus mampu merumuskan masalah dan merumuskan pemecahannya, serta dapat tampil sebagai mediator yang berani dan mampu berkomunikasi maupun berhadapan dengan petugas pemerintah.
C. Dinamika Kelompok
     Dalam sebuah sistem sosial terdapat keinginan dari masing–masing individu untuk menyatu baik berdasarkan keyakinan, keinginan, asal usul yang sama atau yang lainya. Begitu juga dengan lembaga masyarakat desa hutan yang tidak terlepas dari tujuan utama pembangunan pedesaan secara menyeluruh yaitu dengan adanya pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan sehinggan antara masyarakat dengan kelembagaan merupakan mitra yang sejajar dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.
     Kelompok tersebut dalam perjalananya tidak selalu statis, tetapi dinamis dan bergerak, hidup, aktif dalam mencapai tujuan yang telah di tentukan. Gerakan kekuatan yang ada dalam kelompok itulah yang di sebut dinamika kelompok. Dinamika kelompok akan mencakup faktor-faktor yang menyebabkan suatu kelompok hidup, bergerak, aktif dan efektif dalam mencapai tujuannya.
     Dinamika kelompok adalah suatu keadaan dimana suatu kelompok dapat menguraikan, mengenali kekuatan–kekuatan yang terdapat dalam situasi kelompok yang dapat membuka perilaku kelompok dan anggota– anggotanya.

Ada 9 unsur dalam melakukan analisis dinamika kelompok yaitu :
(a)    Tujuan kelompok (group goal),
(b)   Struktur kelompok (Group structure),
(c)    Fungsi tugas (Task function),
(d)   Pembinaan dan pengembangan kelompok(Group building and maintenance),
(e)    Kekompakan kelompok (group cohesiveness),
(f)    Suasana kelompok (Group atmosphere),
(g)   Ketegangan kelompok (Group pressure),
(h)   Efektivitas kelompok (Group evectiveness), dan
(i)     Maksud terselubung (Hidden agenda).

      Dalam penentuan kedinamisan kelompok baik di MPSDH Wana Lestari maupun LMDH Argo Mulyo, di gunakan tiga indikator sebagai penilainya, yaitu aspek tujuan kelompok, aspek struktur kelompok, dan aspek efektivitas kelompok
a.       Tujuan Kelompok
     Pada sebuah organisasi, terutama lembaga masyarakat desa hutan, tujuan kelompok merupakan salah satu elemen penting yang harus di perhatikan. Karena dengan tujuan kelompok yang jelas maka anggota yang tergabung di dalamnya akan mengetahui arah organisasi yang akan di bangun. Dalam kegiatan PHBM, lembaga masyarakat desa hutan merupakan unsur penting yang harus dibangun.
     Dengan lembaga msyarakat desa hutan yang jelas akan menunjang kesuksesan dari program PHBM. MPSDH Wana Lestari dibangun atas dasar untuk menghimpun dan memperdayakan potensi sumber daya hutan dalam pembangunan dan pengelolaan sumber daya hutan sehingga terbentuk sistem pengelolaan hutan jati yang optimal bagi kepentingan masyarakat desa hutan, masyarakat luas, pemerintah dan kelestarian lingkungan. Disamping itu, juga untuk melestarikan hutan demi anak cucu, untuk menambah rejeki dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta
untuk menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani dalam melakukan pengelolan
hutan.
     Sedangkan LMDH Argo Mulyo dalam pembentukanya memiliki tujuan utama untuk ikut bertanggung jawab dalam menjaga dan memelihara kawasan hutan dari gangguan dan perusakan sehingga kelestarian hutan dapat dipertahankan. Disamping itu, juga sebagai sarana untuk berbagai dengan Perum Perhutani baik berbagi peran, berbagi tanggung jawab maupun berbagi hasil (manfaat) terutama hasil sharing dari hutan sehingga dapat ikut serta dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan pada umumnya serta anggota LMDH Argo Mulyo pada khususnya.
     Selain berkaitan dengan kegiatan pengelolaan hutan, LMDH Argo Mulyo juga melakukan kegiatan untuk meringankan anggota dari iuran desa seperti kegiatan bersih desa. Dengan bergabung dalam LMDH Argo Mulyo, biaya iuran di tanggung dan membantu anggotanya jika melakukan pengobatan. LMDH Argo Mulyo juga memberikan kontribusi dalam pembangunan Desa Sugihwaras seperti LMDH melakukan kegiatan pembuatan jalan yang secara swadaya dilakukan oleh anggota disampimg itu, juga melakukan pemberian bantuan rutin kepada SDN Sugihwaras dalam usaha untuk peningkatan mutu anak didik.
     Berdasasarkan hasil wawancara dengan responden untuk mengetahui kesesuai dari tujuan kelompok tani hutan, responden dari MPSDH Wana Lestari dan LMDH Argo Mulyo sebayak 30 orang (100 %) menyatakan bahwa tujuan dari pembentukan kelompok sudah sesuai, karena selama ini telah memberian manfaat bagi masyarakat sekitar hutan terutama dari anggota yang tergabung di dalamnya. Begitu juga tentang tingkat kejelasan tujuan dari MPSDH Wana Lestari dan Argo Mulyo, sebanyak 30 orang (100 %) menyatakan bahwa tujuan kelompok telah jelas, karena dalam pembentukan MPSDH Wana Lestari dan LMDH Argo Mulyo, mereka ikut dilibatkan didalamnya terutama dalam penyusunan AD / ART dan juga berbagai kegiatan yang berlangsung selama ini dalam pengelolaan hutan bersama Perum Perhutani.
b.      Struktur Kelompok
     Untuk melihat kedinamisan suatu kelompok, struktur kelompok merupakan salah satu unsur yang harus di perhatikan dimana struktur kelompok adalah bagaimana tersebut mengatur dirinya sendiri. Dengan adanya ketidak jelasan struktur, dapat menyebabkan ketidak jelasan wewenang dan kewajiban setiap anggota, sehingga akan berdampak pada kegiatan tidak berjalan efektif.
     Pada MPSDH Wana Lestari, menurut responden dalam pengambilan keputusan dalam kelompok, rapat pengurus dan anggota menjadi pihak yang berwenang karena dengan rapat bersama, setiap permasalahan yang ada dapat dilakukan pemecahan secara bersama-sama. Untuk kesesuaian kegiatan dengan tujuan dari kelompok, sebanyak 30 orang (100 %) menyatakan bahwa kegiatan kelompok yang berjalan selama ini telah sesuai dengan tujuan, dimana banyak
kegiatan yang dilakukan MPSDH Wana Lestari berkaitan dengan peningkatan ekonomi anggota, seperti melakukan budidaya porang di bawah tegakan yang mempunyai nilai ekonomi, disamping kegiatan pembuatan pupuk bokhasi. Untuk menunjang komunikasi kelompok, pada umumnya responden menyatakan bahwa KKP (Kumpulan-Kumpulan Prayasawana) merupakan salah satu sarana untuk menujang komunikasi secara formal yang berkaitan denganb kegiatan MPSDH Wana Lestari, disamping menggunakan sarana lain seperti kegiatan arisan dan pengajian. Pada LMDH Argo Mulyo, dalam melakukan pengambilan keputusan dalam kelompok menggunakan sarana rapat pengurus dan anggota menjadi pihak yang berwenang dalam pengambilan keputusan. Untuk kesesuaian kegiatan dengan tujuan dari kelompok, sebanyak 30 orang (100 %) menyatakan sesuai, karena mereka menilai selama ini LMDH Argo Mulyo telah melakukan kegiatan yang dapat memberikan kontribusi bagi anggota serta Desa Sugihwaras seperti budidaya tanaman porang, empon-empon yang memiliki nilai ekonomi, dan melakukan kegiatan pengamanan hutan, sedangkan kontribusi bagi desa dengan melakukan kegiatan pembutan jalan serta bantuan dana pendidikan bagi SDN Sugihwaras. Dalam menujang komunikasi kelompok secara formal, menggunakan sarana Pokja dan kegiatan-kegiatan informal seperti arisan.
c.       Efektivitas Kelompok
     Efektivitas kelompok merupakan keberhasilan kelompok dalam mencapai tujuan. Semakin berhasil suatu kelompok, maka anggota akan memiliki kebanggaan terhadap kelompoknya. Responden yang ada di MPSDH Wana Lestari pada umunya menjawab bahwa banyak manfaat yang diperoleh dari keberadaan kelompok terutama bisa menambah penghasilan kelurga dari hasil hutan.
     Setelah adanya MPSDH Wana Lestari dan konsep Wanareksa dalam pengelolaan hutan dengan Perum Perhutani, petani mempunyai akses yang lebih besar terutama dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan jati. Disamping itu, kelestarian sumberdaya hutan dapat terjaga dengan baik. Sebelum ada MPSDH Wana Lestari rasa memiliki hutan bagi masyarakat sekitar tidak ada, sehingga ketika ada pencurian kayu masyarakat membiarkan. Tetapi setelah adanya MPSDH, mulai muncul rasa kepedulian terhadap hutan karena mereka sadar bahwa fungsi hutan sangat besar bagi kehidupan mereka.
     Untuk masalah motivasi awal responden ikut serta dalam MPSDH Wana Lestari, pada umumnya karena adanya faktor bagi hasil berupa kayu dari Perum Perhutani yang besarnya sesuai dengan persentase yang telah disepakati dengan Perum Perhutani.
     Responden di LMDH Argo Mulyo, berkaitan dengan manfaat dari keberadaan kelompok tersebut, pada umumnya mereka mengatakan bahwa banyak manfaat yang di peroleh dengan adanya LMDH terutama berkaitan dengan peningkatan pendapatan rumah tangga. Sebelum adanya LMDH dan konsep Wengkon, mereka hanya memiliki lahan di hutan maksimal 0,25 ha dalam jangka waktu 2 tahun. Tapi setelah adanya konsep Wengkon, mereka bisa memperoleh lahan lebih dari 0,25 ha dan juga dapat menanami tanaman di bawah tegakan seperti budidaya porang dan empon-empon dengan waktu kepemilikan lebih dari 2 tahun. Selain itu, faktor bagi hasil berupa kayu dari Perum Perhutani yang besarnya tergantung dari potensi tegakan yang menjadi wilayah Wengkon LMDH Argo Mulyo.
     Untuk masalah motivasi awal mereka ikut tergabung dalam LMDH, pada umumnya responden menjawab, karena adanya progarm PHBM yang didalamnya terdapat hasil bagi berupa kayu dari Perum Perhutani. Tetapi seiring dengan berjalanya waktu dan banyaknya kegiatan yang telah dilaksanakan oleh LMDH Argo Mulyo, mereka sudah tidak tergantung lagi pada bagi hasil berupa kayu.
     Mereka menyadari bahwa disamping bagi hasil, mereka memperoleh manfaat lain seperti anggota LMDH Argo Mulyo dilibatkan dalam kegiatan penanaman yang sebelumnya mereka jarang dilibatkan, kegiatan penjarangan dan kegiatan penebangan, dimana dari hasil penebangan tersebut mereka memperoleh upah.
     Secara umum kondisi MPSDH Wana Lestari maupun LMDH Argo Mulyo adalah dinamis dimana dari aspek tujuan kelompok telah jelas tentang tujuan pembentukan MPSDH Wana Lestari dan LMDH Argo Mulyo dalam Progeam PHBM, dari aspek struktur kelompok jelas karena masing-masing kelompok telah memiliki aturan yang jelas dan struktur organisasi yang lengkap serta kelompok telah berjalan efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya manfaat yang diperoleh dari keberadaan MPSDH Wana Lestari maupun LMDH Argo Mulyo terutaam dalam mendukung pendapatan keluarga.

D.    Partisipasi Masyarakat
Menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam Kartasubrata (1986), partisipasi adalah istilah deskriptif yang mencakup berbagai kegiatan dan situasi yang beraneka ragam karena besar sekali kemungkinan terjadinya kesalahpahaman tentang sebab dan akibat, ruang lingkup dan penyebarannya.
Menurut Slamet dalam Kartasubrata (2002), mengemukakan bahwa syarat- syarat yang diperlukan untuk berpartisipasi rakyat dapat dikelompokkan dalam tiga golongan :
1.   Ada kesempatan untuk membangun / untuk ikut dalam pembangunan.
2.   Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu.
3.   Ada kemauan untuk berpartisipasi.
      Dimensi partisipasi mencakup jenis partisipasi yang sedang diselenggarakan, kelompok-kelompok perorangan yang terlibat dalam partisipasi tersebut dan berbagai cara bagaimana terjadinya proses partisipasi tersebut. Sedangkan kontek partisipasi berfokus pada hubungan antara ciri-ciri proyek pembangunan pedesaan dan pola-pola partisipasi yang ada dalam lingkungan daerah lokasi proyek.
      Menurut Delli Priscolli (1997) dalam Suporahardjo (2005), nilai inti dari
partisipasi adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat harus punya suara dalam keputusan tentang tindakan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
2.   Partisipasi masyarakat meliputi jaminan bahwa kontribusi masyarakat akan mempengaruhu keputusan.
3.   Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan dan memenuhi kebutuhan proses semua partisipasi.
4. Proses partisipasi masyarakat berupaya dan memfasilitasi keterlibatan mereka yang berpontensi untuk berpengaruh.
5.   Proses partisipasi melibatkan partisipasi dalam mendefinisikan bagaimana berpartisipasi.
6.   Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan kepada partisipan bagaimana input mereka digunakan atau tidak digunakan.
7.   Proses partisipasi masyarakat memberi partisipasi informasi yang mereka butuhkan dengan cara yang bermakna.
     
      Menurut Ndraha (1990) dalam Yumi (2002), partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dapat di pilahkan sebagai berikut :
(1)  Partisipasi dalam / melalui kontak dengan pihak lain sebagai titik awal perubahan sosial,
(2)  Partispasi dalam memperhatikan / menyerap dan memberikan tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan),menerima dengan syarat ataupun dalam arti menolaknya,
(3)  Partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan,
(4) Partisipasi dalam pelaksanaan operasional,
(5) Partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan dan
(6) Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
     
      Menurut Pujo (2002) pada kegiatan PMDH, masyarakat belum terlibat dengan baik pada semua tahap kegiatan bahkan pada tahap perencanaan dan pengendalian tingkat keterlibatannya masih rendah. Hal ini menunjukan bahwa aspek perencanaa dan pengendalian kegiatan belum sepenuhnya melibatkan masyarakat.
      Pada kegiatan PHBM, masyarakat juga belum terlibat baik pada semua tahapan kegiatan. Walaupun demikian telah menunjukkan intensitas yang lebih baik jika dibandingkan pada Program PMDH. Masyarakat pada umumnya berpartisipasi pada kegiatan yang dirasa memberikan manfaat langsung pada mereka yaitu pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan hasil

E.     Kolaborasi dalam Pengelolaan Hutan
      Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), kolaborasi adalah suatu proses di mana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajagi dan bekerja melalui perbedaan–perbedaan untuk bersama- sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama.
      Menurut Wondolleck dan Yaffee (2000) dalam Suporahardjo (2005), perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, yang demokratis, lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian, dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama.
      Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pengembalian kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat lokal dan pengakuan otoritas manajemen mereka secara formal. Pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat terdapat satu tantangan untuk membangun dan memelihara proses kolaborasi dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan inisiatif. Komitmen suatu kelompok untuk berkolaborasi tergantung pada persepsi bahwa kesepakatan di antara stakeholder akan memberikan hasil yang positif bagi anggotanya.

Menurut Katherine et al (2002) dalam Suporahardjo (2005), hasil positif itu meliputi :
1. Keuntungan materiil.
2. Pengakuan masa pemakaian dan hak penggunaan.
3. Bertambahnya identitas budaya.
4. Pencapaian kepentingan jangka pendek dan jangka panjang.

Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi meliputi :
1. Membutuhkan keterbukaan karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima untuk menghasilkan solusi bersama.
2.  Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan.
3. Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar.
4.  Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi diantara stakeholder dimasa depan.
5. Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses dari pada sebagai resep.

     Walaupun pendekatan kolaborasi telah memberikan kesuksesan dan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tapi dalam perjalanannya terdapat kendala sebagai keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), beberapa kendala dalam kolaborasi, yaitu :
1. Komitmen kelembagaan tertentu menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi.
2. Sejarah hubungan yang dicirikan oleh interaksi permusuhan yang telah berlangsung lama diantara dua pihak.
3.  Dinamika perkembangan tingkat kemasyarakatan (pendekatan kolaborasi lebih sulit dipraktekkan ketika kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangakan alokasi sumberdaya langka).
4. Perbedaan persepsi atas resiko.
5. Kerumitan yang bersifat teknis
6. Budaya kelembagaan dan politik.


































BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan

      Kedinamisan Kelompok diukur dari aspek tujuan kelompok, aspek struktur kelompok, dan aspek efektivitas kelompok. Tujuan kelompok MPSDH Wana Lestari maupun LMDH Argo Mulyo sudah jelas, struktur kelompok telah memiliki aturan yang jelas dan lengkap, dan kelompok telah berjalan efektif dimana banyak manfaat yang diperoleh dari keberadaan MPSDH Wana Lestari dan LMDH Argo Mulyo serta telah mendukung motivasi anggota untuk ikut dalam menjaga kelestarian hutan.
      Tingkat Partisipasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan MPSDH Wana Lestari dan LMDH Argo Mulyo dalam aspek perencanaan berada pada kategori sedang, dalam aspek pelaksanaan berada dalam kategori tinggi, dalam aspek pemanfaatan hasil berada dalam kategori tinggi, serta dalam aspek evaluasi atau monitoring berada dalam kategori sedang.
      Kolaborasi antara Perum Perhutani dengan MPSDH Wana Lestari dan LMDH Argo Mulyo telah terbangun secara kuat. Indikator kekuatan kolaborasi yang di gunakan adalah faktor tujuan bersama antara Perum Perhutani denganMPSDH Wana Lestari dan LMDH Argo Mulyo telah dipahami secara jelas, factor percaya (Trust) tinggi, faktor pembagian peran dan tanggungjawab telah jelas, faktor kapasitas masing-masing pihak tinggi dalam menunjang pelaksanaan program PHBM, faktor hasil dari PHBM telah mendukung dalam pencapain program, dan faktor pentingnya resiko sudah jelas.

B.  Saran
1. Perlunya digalakkan kegiatan di luar kawasan hutan seperti kegiatan pengelolaan porang di MPSDH Wana Lestari dan LMDH Argo Mulyo guna lebih meningkatkan motivasi anggota untuk lebih aktif dalam kegiatan PHBM.
2.  Perlu ditingkatkan untuk merekrut anggota dari kalangan pemuda baik di MPSDH Wana Lestari maupun LMDH Argo Mulyo dalam kaderisasi anggota sehingga kelangsungan MPSDH Wana Lestari maupun LMDH Argo Mulyo dapat berjalan dengan efektif.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar