Mencari Sumber Pupuk Organik
(Solo Pos, 28 Maret 2007)
Oleh : Prof.Dr.Ir.H. Suntoro Wongso Atmojo. MS.
Dekan Fakultas Pertanian UNS. Solo.
Untuk mempertahankan dan meningkatkan bahan organik tanah, diperlukan penambahan organik secara berangsur. Masalah utama dalam penggunaan pupuk organik adalah perlu jumlah yang terlalu banyak, dan ketidak tersediaan sumber bahan organik di lapang. Memang pupuk kandang telah terbukti sejak nenek moyang kita sebagai pupuk yang mampu untuk mempertahankan bahkan memperbaiki kesuburan tanah. Kita tidak bisa mengandalkan pupuk kandang sebagai satu-satunya sumber bahan organik, mengingat populasi ternak yang dimiliki petani semakin lama semakin berkurang. Oleh karena itu perlu dicari sumber bahan organik yang potensial setempat. Potensial setempat yang dimaksud adalah sumber bahan organik tersebut mudah didapatkan dilapangan, dalam jumlah memadai, dan efektif dalam peningkatan keharaan tanah.
Sebenarnya sumber bahan organik yang ada di lapangan cukup banyak namun terkadang kita belum tahu atau tidak biasa menggunakannya. Berbagai sumber bahan organik yang dapat dikembangkan antara lain: pupuk hijau (hasil pangkasan tanaman), sisa tanaman (misal jerami), sampah kota dan limbah industri.
Pupuk Hijau
Bahan organik yang digunakan sebagai sumber pupuk dapat berasal dari bahan tanaman, yang sering disebut sebagai pupuk hijau. Biasanya pupuk hijau yang digunakan berasal dari tanaman legum, karena kemampuan tanaman ini mampu mengikat N2-udara dengan bantuan bakteri rizobium, menyebabkan kadar N dalam tanaman relatif tinggi. Karena kandungan hara nitrogennya tinggi, maka penggunan pupuk hijau dapat diberikan langsung bersama pengolahan tanah, tanpa harus mengalami proses pengomposan terlebih dahulu.
Sebenarnya penggunaan pupuk hijau ini bukan barang baru lagi, namun karena sudah banyak ditinggalkan oleh petani maka pupuk hijau ini terabaikan. Misalnya pada tahun tujuh puluhan, merupakan suatu keharusan pihak pabrik tembakau di Klaten, menanam Crotalaria juncea (orok-orok) pada setiap habis panen tembakau, bertujuan untuk mengembalikan dan memperbaiki kesuburan tanahnya. Setelah tembakau dipanen, ditanam orok-orok, setelah besar maka tanaman orok-ork ini dirobohkan dan dicampur dengan tanah saat pengolahan tanah (pembajakan) yang kemudian digenangi. Tetapi pada masa sekarang keharusan tersebut sukar dipenuhi baik oleh pihak pabrik maupun petani. Petani merasa keberatan bila sawahnya ditanami legum (orok-orok), karena dianggap tidak produktif, selama penanaman orok-orok (sekitar 1 bulan). Tanaman Crotalaria juncea di samping hasil biomasanya tinggi juga mempunyai kandungan N tinggi pula (3,01 % N).
Masih banyak tanaman legum lainya sebagai pupuk hijau yang dapat dikembangkan yang memiliki kualitas hara tinggi. Tanaman legum semusim yang berbentuk perdu yang lain yang dapat digunakan sebagai pupuk hijau adalah Tephrosia candida, sedang yang berbentuk semak berbatang lembek antara lain Colopogonium muconaides (3,2 % N), Centrosema. Sp, dan Mimosa invisa yang banyak digunakan di perkebunan-perkebunan karet dan kelapa sawit. Untuk tanaman pupuk hijau yang berbentuk pohon yang biasa digunakan sebagai pohon pelindung atau sebagai tanaman pagar dalam sistem pertanian lorong antara lain Glerisedia sepium (gamal) (3,46 % N), Leucaena glauca (lamtoro) , dan Sesbania grandiflora (turi putih) (2,42 % N).
Tumbuhan air yang banyak dikembangkan sebagai pupuk hijau adalah Azolla ( A. mexicana, A. microphylladan A. pinnata). Tanaman air ini termasuk tanaman penambat N2 udara. Azolla apabila dimasukkan dalam tanah, pada kondisi tergenang akan terombak dan selama 2 minggu mampu melepas 60-80 % dari N yang dikandungnya. Penggunaan Azzola sebagai pupuk ini cukup potensial dikembangkan dilahan persawahan. Dalam penelitian dilaporkan penggunaan Azolla untuk budidaya padi sawah mampu memasok 20-40 kg N per hektar ke dalam tanah dan mampu meningkatkan hasil padi 19,23 % atau 0,5 ton per hektar. Apabila penggunaan azolla diberikan dua kali yaitu sebelum dan sesudah tanam, peningkatan hasil padi bisa mencapai 38,46 % atau 1 ton per hektar.
Contoh lain tanaman air yang banyak digunakan masyarakat sekitar Rawapening adalah memanfaatkan tanaman enceng gondok sebagai sumber bahan organik untuk pupuk. Sebenarnya enceng gondok sebagai pencemar pengairan yang banyak kita dapatkan diperairan kita seperti di sungai-sungai, dam dan waduk yang dekat dengan perkotaan atau daerah pertanian, karena adanya pengayaan hara dalam perairan maka tumbuh tanaman ini. Walaupun tanaman ini tidak bisa menmbat N, namun karena pertumbuhan cepat dan biomasa/volumenya banyak dan bahannya sangat lunak dan berair, maka enceng gondok potensial dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang berkulitas. Pupuk organik ini banyak digunakan untuk tanaman hias, hortikultura dan bahkan perkebunan.
Pada akhir-akhir ini, mengingat semakin terbatasnya bahan organik yang tersedia, maka dikembangkan tanaman-tanaman nonlegum untuk dapat digunakan sebagai bahan pupuk hijau yang cukup potensial. Tentunya harus ada pedoman atau patokan bahan tanaman yang potensial dapat digunakan untuk pupuk. Suatu tanaman dapat digunakan sebagai pupuk hijau apabila (1) cepat tumbuh; (2) bagian atas banyak dan lunak (succulent); dan (3) kesanggupannya tumbuh cepat pada tanah yang kurang subur, sehingga cocok dalam rotasi. Terkadang kita tidak berfikir penggunaan bahan organik mempunyai kelebihan dalam pelepasan hara dapat secara perlahan-lahan, sehingga akan berpengaruh pada penyediaan jangka panjangnya. Sehingga pengaruh residu bahan organik dapat dirasakan pada musim tanam berikutnya.
Sebenarnya banyak bahan yang dapat kita gunakan sebagai sumber bahan organik untuk pupuk. Bahkan dalam penelitian yang telah saya lakukan, taaman kirinyu atau krenu (Cromolaena odorata) ternyata mempunyai potensi untuk digunakan sebagai tanaman pupuk hijau pada budidaya kacang tanah. Biomasa kirinyu mempunyai kandungan hara yang cukup tinggi, mengandung hara nitrogen 2.65% N, mengandung hara fosfor 0.53% P dan mengandung hara kalium 1.9% K sehingga biomasa kirinyu merupakan sumber bahan organik yang potensial untuk perbaikan kesuburan tanah. Contoh yang lain untuk daerah dataran tinggi, banyak tumbuh tanaman perdu lainya yang dapat digunakan sebagai bahan pupuk hijau antara lain tanaman paitan (Titonia diversifolia), tanaman ini telah dikembangkan sebagai sumber bahan organik untuk meningkatkan ketersediaan hara.
Sisa tanaman dan Sampah Kota
Sisa tanaman dapat digunakan sebagai pupuk yang berperan sebagai suatu cadangan yang dapat didaurkan kembali untuk meningkatkan ketersediaan dan pengawetan hara dalam tanah. Dalam penggunaan sisa tanaman ini tentunya harus dilihat kandungan haranya. Praktek-praktek pengelolaan sisa tanaman memegang peranan utama dalam mengatur ketersediaan hara yang terkandung dalam sisa tanaman. Jerami padi, jagung dan tebu merupakan sisa tanaman yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi, sehingga perlu adanya waktu pemeraman (incubation), atau pengomposan terlebih dahulu dalam praktek pemakaiannya.
Sampah kota merupakan bahan organik yang banyak kita temukan di kota-kota besar, yang merupakan permasalahan lingkungan dalam penanganannya. Usaha penggunaan sampah kota untuk aplikasi langsung di lahan pertanian, umumnya mengalami berbagai permasalahan. Beberapa sebab ketidak berhasilan penggunaan sampah kota sebagai pupuk antara lain: (1) masalah ekonomi pengumpulannya dan pemindahan bahan, (2) kesulitan pemisahan dan pensortiran bahan yang tidak terlapukan secara biologis (seperti : kaca, plastik, logam), (3) kandungan hara khususnya N setiap bahan sangat bervariasi. Apabila bahan yang tahan lapuk telah dipilahkan, suatu teknologi yang dapat direkomendasikan untuk pemanfaatan sampah kota adalah pengomposan.
Sifat yang perlu diperhatikan dalam penggunaan sampah kota : (1) Adanya kontaminasi gelas, plastik dan logam, sehingga bahan-bahan ini perlu dikeluarkan dari bahan pupuk; (2) Kandungan hara. Nilai C/N bahan pada umumnya masih relatif tinggi sehingga perlu pengomposan; (3) Komposisi organik sampah kota sangatlah bervariasi, bahkan kadang-kadang terdapat senyawa organik yang bersifat racun bagi tanaman; (4) Terdapat banyak sekali macam mikrobia dalam sampah kota baik bakteri, fungi dan actinomycetes, bahkan perlu diwaspadai adanya mikrobia patogen bagi tumbuhan atau manusia.
Pengomposan
Pengomposan bertujuan untuk mematangkan bahan organik yang masih mentah. Bahan organik yang masih mentah (C/N tinggi), seperti jerami padi, jagung dan sampah kota, apabila diberikan secara langsung ke dalam tanah akan berdampak negatip terhadap ketersediaan hara tanah. Bahan organik langsung akan disantap oleh mikrobia untuk memperoleh energi, dan akan memerlukan hara untuk tumbuh dan berkembang, yang diambil dari tanah yang seyogyanya digunakan oleh tanaman, sehingga justru terjadi persaingan mikrobia dan tanaman untuk memperebutkan hara yang ada. Oleh karena itu bahan harus kita komposkan dahulu.
Salah satu cara pengomposan yang sederhana adalah proses pengomposan aerob, cara ini paling mudah dilakukan dan hasilnya relatif memuaskan. Sebenarnya proses pengomposan aerobik sampah kota ini, dapat diterapkan dalam skala kecil. Yaitu sampah yang telah diambil dari rumah tangga yang telah dipisahkan dari sampah anorganik ditumpuk disuatu tempat dengan ketinggian tidak lebih dari 1,5 m, kemudian tumpukan sampah ini diusahakan jangan terjadi pemadatan untuk menjamin pasokan aliran udara (aerasi) di antara celah-celah antar sampah. Setelah itu aktifitas biologi (mikrobia) mulai berjalan untuk mulai proses perombakan sampah organik. Proses perombakan aerobik ini berlangsung kurang lebih dalam 45 hari.
Selama proses pengomposan berlangsung perlu kondisi kelembaban dan sirkulasi udara yang cukup baik untuk aerasi. Pada hari ke 5-25 suhu dalam tumpukan akan meningkat. Tumpukan bahan semakin tambah hari akan semakin menyusut. Selama pengomposan dalam keadaan aerob ini tidak menimbulkan bau busuk bahkan sering kali menimbulkan aroma yang menyegarkan. Proses akan lebih cepat jika kita siramkan air kencing sapi, domba dan lainnya. Unsur amoniak (N) dari kencing ini akan memacu proses perombakan. Atau dapat kita tambahkan hara (pupuk). Untuk menjaga kelembaban perlu penyiraman secara periodik. Pembalikan bahan perlu dilakukan. Kompos sudah matang jika temperaatur stabil dan tidak panas lagi serta bentuk fisiknya berubah. Oleh karena itu sumber bahan organik yang dapat kita gunakan dapat kita cari dari yang ada disekitar kita, sehingga saatnya kita menuju ke pertanian organik.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar