contoh skripsi EKSPLORASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN DI WILAYAH LEMBAH PALU

Bookmark and Share


I.   PENDAHULUAN

      
1.1      Latar  Belakang
            Ulat Grayak  ( Spodoptera mauritia.(Boist) merupakan  salah satu hama penting tanaman padi  khususnya di Sulawesi Tengah dan umumnya di Indonesia.   Serangan kompleks ulat grayak   pada tanaman padi di Sulawesi Tengah  dalam  lima tahun terakhir selalu menimbulkan kerusakan yang cukup berarti  dengan luas serangan  berturut-turut dari tahun  2003, 2004, 2005, 2006 dan 2007  adalah,  423 ha, 607,25 ha, 1122,75 ha, 506 ha dan 827 ha dengan kehilangan hasil gabah kering giling sebesar  69,12 ton,110 ton, 1.279,93 ton, 571,45 ton dan 934,51 ton. (Data  Balai Perlindungan Pertanian Perkebunan dan Peternakan (BP4)  Propensi Sulawesi  Tengah  2003 s/d 2007 ).  dari luas serangan tersebut petani telah berupaya melakukan pengendalian dengan mengandalkan  penggunaan pestisida, dari tahun 2003 – 2007 luas penggunaan pestisida  Tercatat  berturut turut, 427 ha, 489,5 ha, 923,5 ha, 428 ha dan 653 ha.  Sedangkan penggunaan cara lain (Fisik mekanik dan Agens hayati) yang ramah lingkungan masih sangat kurang, karena teknologi pengendalian ulat grayak yang ramah lingkungan yang ada, petani anggap belum bisa menyaingi pestisida.  Hal ini menimbulkan dilema akan residu pestisida terhadap hasil produksi sebagai bahan pangan, karena pada umumnya  serangan ulat grayak  terjadi pada saat tanaman menjelang panen.
            Pemanfaatan agens hayati merupakan alternatif yang perlu dikembangkan untuk pengendalian hama ulat grayak,terutama dari golongan  Cendawan, Nematoda, Bakteri maupun Virus.  Dan pada saat ini  pemanfaatan nematoda entomopatogen telah menjadi alternatif yang sangat potensi untuk dikembangkan karena reaksi kerjanya sangat cepat sebagai mana pestisida.   Dari  percobaan yang  dilakukan  oleh            Uhan ( 2002 ) bahwa Nematoda entomopatogen  Steinernema capocapsae efektif terhadap larva  S.liturapada tanaman cabai dan penelitian yang dilakukan  Subagiya (2005), nematoda  entomopatogen dapat digunakan  mengendalikan, C. binotalis, S. lituradan P.xylostella pada tanaman kubis. Dengan  estimasi  semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama inkubasi menyebabkan  semakin tinggi  kematian  ulat  C. binotalis, S. litura  dan     P.xylostella.   Pemanfaatan nematoda, dalam jangka panjang berpotensi untuk dikembangkan, kerena selain mudah dikembangbiakan, memiliki kemampuan menginfeksi yang tinggi dan aman terhadap lingkungan (Amelia, 2006).  Demikian pula  Nugrohorini dkk (2004) menyatakan, bahwa  nematoda entomopatogen disamping efektif terhadap P. xylostella  juga merupakan insektisida yang ramah lingkungan.
1.2      Tujuan
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi  nematoda entomopatogen  Steinernema sp  yang tepat (efektif dan efisien) untuk digunakan  sebagai pengendali  larva S. Mauritia.
1. 3       Kegunaan
     Hasil penelitian ini diharapkan  dapat dipergunakan sebagai salah satu teknologi  pengendalian larva S. Mauritia. yang efektif  dan ramah lingkungan dan sebagai  acuan penentuan rekomondasi  konsentrasi aplikasi yang efektif dan efisien.


II.            TINJAUAN  PUSTAKA


2.1         Ulat  Grayak (Spodoptera mauritia. (Boist) )
2.1.1   Kalasifikasi dan daerah sebaran
            S. mauritia  (Lepididoptera, Nuctuidai ) merupakan  salah satu serangga hama penting pada tanaman padi.  Dengan klasifikasi menurut   Mujiono, dkk, (1991) sebagai berikut  Golongan;  Animalia,  Filum;  Atropoda,  Sub. Filum;  Mandibulata,  Kelas;  Insekta,  Sub.  Kelas;   Pterygota  (mandibulata),  Ordo;  Lepidoptera,  Famili;  Nuktuidai;   Genus;  Spodoptera,   Spesies;  Spodoptera mauritia.   Serangga ini tersebar hampir di seluruh dunia  dan  didaerah  pasifik.

2.1.2   Bioekologi
            Ngengat  S. mauritia  bertelur  +  1.500 butir  diletakan dibawah permukaan daun dan rerumputan,  secara berkelompok dengan jumlah 50 – 400  butir,  ditutupi lapisan lilin berbentuk bulu kelabu kecoklatan.   Setelah menetas,  larva bermigrasi ketanaman padi atau tanaman lainnya.  Ulat muda berwarna hijau muda dengan bagian samping putih kekuningan  dan pada punggungnya terdapat garis-garis.  Ulat dewasa berwarna coklat tua, dan disetiap ruas terdapat bercak hitam  berbentuk bulan sabit,  pada bagian samping terdapat garis-garis membujur dengan tepi sebelah atas berwarna kemerahan.  Perkembangan dari telur  sampai ngengat                +  29 – 31 hari.  Serangan hama ini  umumnya terjadi pada musim hujan, namun kadang-kadang  terjadi pula pada musim kemarau  (Rukmana. dan Saputra,  1997).
            Telur   S.mauritia  diletakan secara berkelompok pada permukaan bawah daun padi atau rerumputan  rata-rata 100  butir, ditutupi sisik warna kelabu.  Larva yang baru muncul sangat aktif bergerak  sambil makan dengan cara meraut begian hijau daun pada ujung daun dan beristirahat pada tepi daun muda yang digulung sehingga tidak muda ditemukan.  Larva menggulungkan diri pada tanaman dengan benang sutra, dan dalam keadaan istirahat larva berbentuk huruf  “C”.  Stadium larva  +  22 hari  yang terdiri dar  5  instar.  Pupa  terbentuk dalam tanah, pada lahan lembab  atau diantara rerumputan sekitarnya.   Imago  berwarna hitam kelabu  sayap depan berwarna coklat kelabu  dilengkapi bercak coklat  gelap dan kuning gelap, dan satu garis kelabu dekat pinggir bercak ( Anonim,  2003).
            Tanaman  inangnya adalah   tebu, jagung, gandum, sorghum, kacang hijau,  tembakau,  kubis dan berbagai jenis rerumputan                     ( Anonim,  2003 ).

2.13.   Gejala  serangan dan  kerusakan
            Larva S. mauritia  sering merusak dalam jumlah besar.   Tanaman yang diserang daunnya akan habis  sehingga tinggal tulang daunnya (Mudjiono, dkk., 1991).  Ulat grayak juga merusak tanaman dengan memotong  pesemaian atau dengan memotong leher malai  setelah fase pembentukan malai.  Ulat tersebut memakan bagian atas tanaman pada malam hari dan berpindah kebagian bawah batang pada waktu siang           ( Gellagher   dalam Anonim,  1992).
            Secara umum penyerangan pada awal fase  vegetatif  tidak mengakibatkan kerusakan nyata, sehingga ambang pengendaliannya tinggi.  Tetapi  pada fase awal pembentukan malai, pengurangan  luas daun dapat menurunkan jumlah energi yang tersedia  bagi perkembangan malai  terutama jumlah bulir,  yang akan mengakibatkan  kehilangan hasil yang cukup besar,  sehingga pada fase pembentukan malai ambang pengendaliannya rendah (Gellagher  dalam  Anonim,  1992).

2.3       Nematoda  Entomopatogen
            Nematoda parasit pada serangga  cukup banyak  (Van Zwaluenburg  1928  dalam Steinhaus 1949), terdapat 759 spesies serangga yang tergolong kedalam 16 ordo diketahui berassosiasi dengan nematoda.  Nematoda tersebut dikelompokan  atas lima kelompok yaitu (1) Parasit primer  (2) parasit sekunder, (3) endoparasit, (4) ektoparasit dan  (5) komensal  (Steinhaus, 1949).  Supramana ( 2006 ) mengungkapkan bahwa  hubungan nematoda dan serangga  adalah sebagai parasitisme dan  patogenesis.  Dari 23 famili nematoda,  7 famili yang beranggotakan spesies yang potensial sebagai pengendali biologi serangga hama,  famili Mermitidae,  Tetradonematidae (Stichosomida),  Allantonematidae,  Phaenopsitylenchidae,  Sphaerulariidae (Tylenchida), Heterorhabditidae dan Steinernematidae (Rhabditida).  Species anggota Heterorhaditidae  dan Steinernematidae dikenal sebagai nematoda  entomopatogen yang dapat membunuh serangga  dalam  1 – 4  hari.  Hal  ini terjadi kerena  adanya simbiosis mutualistik antara nematoda  dengan bakteri Photorhabdus (Heterorhabditid) dan  Xenorhabdus (Steinernematid) dan telah dikenal sebagai insektisida mikroba  dan sudah dijual secara komersial.

2.2.1     Klasifikasi  Steinernama. Sp.
Diskripsi taksonomi nematoda Steinernema  menurut  Johny (2001) adalah sebagai berikut:  Filum;  Nematelminthes,   Kelas;  Secermentae,  Ordo;  Dorylaimida,  Famili;  Steinernematidae,  Genus;  Steinernema,   Spesies;  Steinernema  sp.

2.2.2     Bioekologi Steinernema sp
Nematoda Steinernema  paling banyak terdapat di tanah.  Selain itu juga, mampu hidup di permukaan daun, di tempat-tempat yang banyak mengandung bahan organik, di air tawar dan air  laut.   Di dalam tanah, nematoda hidup dengan cara memanfaatkan bahan organik atau memakan serangga-serangga atau organisme lain.   Di dalam tubuh serangga  nematoda dapat berkembang biak dengan cepat  sampai menghasilkan     2 sampai  3 generasi.    Siklus hidup nematoda  dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu kurang lebih  14  hari.   Apabila terdapat nutrisi yang melimpah siklus hidupnya bisa lebih cepat lagi  dan sebaliknya  apabila tidak tersedia nutrisi yang cukup maka daur hidup nematoda bisa lebih lama.   Organisme ini bisa bertahan  di dalam tanah,  dengan cara inaktif dalam waktu tertentu  dan akan melakukan migrasi ketempat lain  apabila tidak ada persediaan makanan yang cukup.   Perpindahan nematoda dari suatu tempat ketempat lain  bisa dilakukan secara pasif  dengan bantuan air, angin  atau terbawa oleh alat-alat pertanian.  Gerakan aktif nematoda sangat lambat dan ditempuh dengan waktu yang cukup panjang                   ( John,   2001)
            Supramana  ( 2006), siklus hidup nematoda entomopatogen,   juvenil infektif (JI) dari kedua  genus sama , hidup bebas dalam tanah.  Dalam tubuh  serangga  inang generasi  pertama  Neoplectana (Steinernema) adalah populasi amfimiktik (berkembangbiak secara kawin), sedangkan  pada Heterorhabditis adalah hermafrodit. Pada Neoplectana, juvenile berkembang dalam tubuh induknya, dan bila masih tersedia makanan  akan membentuk  generasi 2 amfimiktik. Pada Heterorhabditis, generasi 2 adalah amfimiktik dengan jantan yang jauh lebih kecil.   Jufenil berkembang  menjadi fase infektif dan kembali hidup bebas dalam tanah.
Sofa  (2008),  siklus  hidup  Steinernema  dan  Heterorhabditis  dimulai ketika juvenile  infektif mencari inang.  Nematoda  menggunakan CO2  dan senyawa kimia lain dari produk  sisa serangga  sebagai pertanda untuk  menemukan inangnya.  Nematoda akan menembus rangga tubuh serangga  yang ditemukannya melalui mulut anus dan spirakel.  Heterorhabditis dapat masuk dengan  menembus dinding tubuh inang didalam rongga tubuh, bakteri yang bersimbiosis  dengan nematoda akan dilepaskan. Bakteri segera memperbanyak diri, mengakibatkan  septisemia dan membunuh inang  dalam waktu 24 sampai 48  jam. Nematoda  berkembang dengan memakan bakteri dan jaringan inang  hingga mencapai dewasa.  Nematoda  menyelesaikan  2  atau  3 generasi didalam setiap serangga.  Juvenil invektif  Steinernema sp,  akan menjadi jantan atau betina.  Juvenil Heterorhabditis akan berkembang menjadi hemaprodit, meski generasi selanjutnya akan menghasilkan  jantan dan betina juga.   Daur hidup diselesaikan dalam beberapa hari,  dan ribuan juvenile  infektif  baru akan muncul mencari inang yang segar.

2.2.3     Cara Menyerang Inang
Nematoda masuk kedalam tubuh serangga  melalui lubang tubuh alami seperti spiracle, anus, atau termakan oleh larva serangga. Setelah berada di dalam tubuh larva, nematoda langsung melepaskan bakteri simbiosisnya kedalam usus larva serangga.  Bakteri inilah yang membunuh larva dengan cara mengeluarkan zat yang bersifat antibiotik atau racun terhadap serangga.   Dalam waktu 1 – 2 hari larva mati. Larva yang mati biasanya ditunjukkan dengan gejala yang khas tergantung warna permukaan tubuh ulat.  Ulat hongkong yang terserang nematoda ini menunjukkan gejala warna tubuh coklat kehitaman, tubuh lembek dan sedikit mengeluarkan cairan.  Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut.  Selanjutnya induk nematoda menghasilkan 2 - 3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan cara keluar dari tibuh larva dan mencari inang lain (Johny,  2001)
            Proses pemilihan inang ( host selection) pada nematoda  entomopatogen terdiri atas empat tahap, yaitu penemuan habitat inang, penemuan inang, penerimaan inang, dan kesesuaian inang.  Setelah inang ditemukan, dikenali dan diinfeksi, nematoda harus mampu mematahkan respons kekebalan inang dengan protein anti kekebalan yang dihasilkannya  (Sofa,  2008).   Faktor –faktor yang mempengaruhi keefektifan nematoda entomopatogen diantaranya adalah a)  strategi menyerang inang (menjelajah atau menunggu),  b)  kemampuan melakukan penetrasi,          c)  kerja sama dengan bakteri simbionnya,  d)  fisik lingkungan  (suhu  dan kelembaban) dan e) energi cadangan nematoda (Trisawa,  2007).
            Mekanisme patogenitas nematoda pathogen serangga  (NPS) terjadi melalui simbiosis dengan bakteri pathogen Xenorhabdus untuk Steinernema  dan Photorhabdus untuk  Heterorhabditis.  Infeksi  NPS  dilakukan  oleh stadium larva  instar III atau juvenile infektif  (JI) terjadi melalui mulut, anus, spirakel, atau penetrasi langsung membran  intersegmental  integument yang lunak.  Setelah mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan  kedalam haemolim untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin  yang mematikan serangga.  NPS  sendiri  juga mampu menghasilkan toksin yang mematikan.  Dua faktor ini  yang menyebabkan  NPS mempunyai daya bunuh yang  sangat cepat.  Serangga  yang terinfeksi NPS dapat mati dalam wakti  24 - 48  jam setelah infeksi (Anonim,  2008)

2.2.4     Kisaran  Inang  Steinernema
Nematoda Steinernema .  memiliki kisaran inang  yang sangat luas  baik hama yang menyerang tanaman perkebunan ,  hortikultura  maupun tanaman pangan.  Untuk  hama tanaman perkebunan  yang telah berhasil dikendalikan dengan nematoda Steinernema   antara lain   Helopeltis sp  pada tanaman kakao ( Ade, 1997;  dalam  Johny,  2001).  Steinernema   juga mampu mengendalikan  hama yang menyerang tanaman  diantaranya, Spodoptera exigua  dan Spodoptera litura (Bawang merah), Croccidolomia binotalis dan Plutela  xylostella (Kubis), Helicoverpa armigera  (Tomat) sedangkan hama tanaman pangan yang dapat dikendalikan  oleh organisme ini  adalah hama putih ( Nimpula depuntalis),Corcira cepkalonika ( Johny  2001) .  Menurut  Anonim. (2008)  NPS  telah terbukti  efektif mengendalikan penggerek batang padi, hama lanas (Cylas formicarius), Lyriomyza sp, ulat grayak (Spodoptera litura), penggerek tongkol jagung (Ortrinia furnacalis), ulat kantong, dan penggerek polong kedelai          (Etiela zinkenela).

2.2         Hipotesis
Aplikasi nematoda entomopatogen untuk pengendalian S.mauritia  pada tanaman padi  dengan konsentrasi yang berbeda akan memberikan pengaruh  yang berbeda terhadap mortalitas  S. mauritia.

III.   METODOLOGI


3.1       Waktu dan Tempat
            Pelaksanaan penelitian ini  dilaksanakan  dari bulan  Januari  2009   sampai Pebruari  2009,   Tempat pelaksanaan  di Laboratorium  Pengamatan Hama dan Penyakit  Tanaman  Pada Kantor Balai  Perlindungan  Pertanian  Perkebunan dan Peternakan  Propensi Sulawesi Tengah  di Biromaru. Kecamatan Sigi  Biromaru   Kabupaten  Sigi  Propensi Sulawesi Tengah.

3.2       Alat  dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini  berupa  Mikroskop, Cawan Petris, Pinset, Pipet, Stoples, Ember, Sunkup kasa, Kertas saring, Ulat  grayak      S.mauritia  Ulat bambu ( Tenebrio molitor) , Nematoda  entomopatogen, Pot   Steinernema sp  strain  lokal,  Bibit  Padi  dan Alat tulis menulis

3.3       Metode penelitian 
Penelitian ini akan dilakukan dalam dua tempat yaitu   uji laboratorium dan Uji lapangan di dalam pot pertanaman dengan  menggunakan rancangan acak lengkap.  Yang terdiri dari 5 perlakuan  yang di ulang sebanyak  4  kali  sehingga  terdapat  20  unit percobaan  adapun susunan  perlakuan  sebagai berikut :
            Po  =  Kontrol      0  JI /  2 ml air / unit ulangan
            P1  =  Nematoda   konsentrasi      500   JI  / 2 ml air /  unit ulangan
            P2  =  Nematoda   konsentrasi      1000  JI / 2 ml air /  unit ulangan
            P3  =  Nematoda   konsentrasi      2000  JI / 2 ml air /  unit ulangan
            P4  =  Nematoda   konsentrasi      3000  Jl / 2 ml air /  unit ulangan
 Setiap percobaan mengunakan  10 ekor larva ulat grayak instar 3 - 4   Indikator pengamatan  persentasi mortalitas dan  larva yang berhasil menjadi pupa.  Data hasil pengamatan diolah  dengan analisa  ragam.  Secara matematik ditulis
                            Xij = µ + Ti + Eij.
            Keterangan :
            Xij   =  Nilai pengamatan Perlakuan Ke-I dan ulangan Ke j.
            µ     =  Rata rata  Umum
            Ti    =  Pengaruh Perlakuan Ke i
            Eij   =  Galat
            Data yang menunjukan perbedaan  dianalisa  dengan menggunakan Uji BNJ(0,05)

3.4       Pelaksanaan
3.4.1    Persiapan  Nematoda  entomopatogen  (Strain Lokal)
a.   Explorasi Nematoda dari  tanah
                 - Pemerangkapan nematoda entomopatogen dari dalam tanah  dilakukan dengan   menggunakan  ulat bambu atau ulat hongkong  ( Tenebrio molitor) dengan langkah -langkah sebagai berikut.   Cari lokasi  yang diperkirakan  banyak  nematoda  entomopatogennya, kemudian ambil  tanah yang lembab  sebanyak   +  150 ml  masukan    dalam wadah plastik  yang  kemudian dimasukan  5 – 10 ekor   ulat bambu,  Kemudian wadah dibalik  sehingga ulat Bambu terkubur  tanah, selanjutnya  diinkubasikan pada suhu  ruangan  selama  3-4 hari,  kemudian bangkai  ulat bambu  diambil lalu dibilas dengan aquades  untuk selanjutnya diproses dengan perangkap  white.

b.   Perangkap  White  (White Trap ) dan Seleksi
                  -Tutup cawan Petri ( 100  X 15  mm)   diletakan secara terbalik didalam  Cawan Petri  yang lebih besar (  150  x 25 mm ) yang kemudian diatasnya  dialas dengan  kertas saring, kemudian bangkai ulat bambu  disusun secara melingkar diatasnya.
-Tambahkan  air kedalam cawan petri  hingga menyentuh kertas saring, dan   tetesi kertas saring dengan air hingga  hertas dibawah bangkai ulat bambu, ikut basah.
- Inkubasikan  perangkap white  ditempat gelap pada suhu  
  ruangan.
 - Juvenil  Infektif  nematode entomopatogen  akan muncul dari bangkai ulat (5 –10  hari)  kemudian  dan bergerak kedalam air.
-Nematoda  yang telah berada dalam air  dikumpulkan dan dicuci selanjutnya di seleksi untuk mendapatkan jenis Steinernemasp untuk   kemudian  dilakukan perbanyakan.

c.    Perbanyakan  Nematoda Entomopatogen Steinernema sp
-Dalam penilitian  ini, untuk memenuhi kebutuhan  nematoda    entomopatogen  diperbanyak dengan menggunakan ulat  larva S. mauritia dengan  langkah kerja sebagai berikut;   2  lapis  kertas saring  di alaskan pada dasar  cawan petri,  kemudian  disiramkan 2- 3 ml suspensi nematoda  ( 1000 –  5000 Ji) , kertas   saring   harus basah dan tidak menggenang.
-Masukan larva  S.mauritia  5  - 15 ekor, selanjutnya di inkubasikan  pada  suhu  ruangan. Larva  S.mauritia  akan mati 2 - 3  hari setelah inokulasi.  kemudian diproses  kembali dengan  perangkap white.

3.4.2    Pengambilan  dan  Perbenyakan  Larva  S. mauritia
- Larva  S. mauritia   di kumpulkan dari lapangan ( pertanaman padi), 
   sejumlah kebutuhan, kemudian dipelihara hingga menjadi imago     ( ngengat) dan bertelur.
-Telur-telur yang diporoleh di pelihara dalam sungkup hingga menetas kemudian larvanya di pelihara sampai instar yang di inginkan yaitu instar 3.
3.4.3    Persiapan Plot Perlakuan   Uji  Laboratorium
- Toples  transparan  diameter  20 cm tinggi   10  cm sebanyak 20 buah disiapkan dan disusun di atas meja sesuai rancangan acak  lengkap.
- Pada setiap dasar  toples dilapisi dengan 2 lapis kertas saring  dan penutup toples dibuatkan jendela yang kemudian  ditutup dengan kain kasa.
 - Kemudian kedalam setiap toples dimasukan larva ulat S.mauritia instar 3    sebanyak 10 ekor  dan kemudian diaplikasi dengan nematoda  entomopatogen  dengan konsentrasi  sesuai perlakuan dan kemudian larva dipelihara sebaik-baiknya.  
3.4.4    Pengenceran dan Aplikasi
- Untuk mendapatkan  jumlah  nematoda yang akan di  aplikasikan pada  setiap perlakuan, terlebih dahulu  dilakukan pengenceran dengan air steril.
- Pengenceran  nematoda  dilakukan secara bertahap untuk mempermuda menghitung jumlah      nematoda   yang   akan di aplikasikan pada setiap perlakuan.   Jumlah  nematoda  dari setiap tahap pengenceran dihitung langsung dibawah mikroskop,  kemudian di konversi  kedalam  2 ml larutan
- Aplikasi nematoda pada setiap unit percobaan dilakukan dengan  cara tetes    menggunakan  pipet    sebanyak   2  ml  larutan.
3.4.5    Variabel Pengamatan 
           - Setelah aplikasi dilakukan pengamatan pada setiap unit percobaan selama larva masih hidup atau setelah larva berhasil menjadi kepompong,  interval pengamatan  dilakukan setiap  24 Jam           ( tiap hari) 
           - Parameter yang diamati pada percobaan ini adalah  presentasi kematian larva S.mauritia. Larva yang mati  dihitung dengan menggunakan rumus;
P   =      Po  -  Pc  x  100 %
                  Po

Keterangan :
P   =  Persentasi kematian larva
Po    =  Jumlah Larva yang Masih hidup pada Kontrol
Pc   =  Jumlah  Larva yang masih hidup pada  Perlakuan
              -   Larva   yang menjadi  Pupa dihitung  menggunakan rumus
                  Pp  =  Jumlah larva yang menjadi pupa   x  100  %
                 Jumlah larva yang di uji    

 ................. bersambung untuk hasil dan pembahasannya..

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar