I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ulat Grayak ( Spodoptera mauritia.(Boist) merupakan salah satu hama penting tanaman padi khususnya di Sulawesi Tengah dan umumnya di Indonesia. Serangan kompleks ulat grayak pada tanaman padi di Sulawesi Tengah dalam lima tahun terakhir selalu menimbulkan kerusakan yang cukup berarti dengan luas serangan berturut-turut dari tahun 2003, 2004, 2005, 2006 dan 2007 adalah, 423 ha, 607,25 ha, 1122,75 ha, 506 ha dan 827 ha dengan kehilangan hasil gabah kering giling sebesar 69,12 ton,110 ton, 1.279,93 ton, 571,45 ton dan 934,51 ton. (Data Balai Perlindungan Pertanian Perkebunan dan Peternakan (BP4) Propensi Sulawesi Tengah 2003 s/d 2007 ). dari luas serangan tersebut petani telah berupaya melakukan pengendalian dengan mengandalkan penggunaan pestisida, dari tahun 2003 – 2007 luas penggunaan pestisida Tercatat berturut turut, 427 ha, 489,5 ha, 923,5 ha, 428 ha dan 653 ha. Sedangkan penggunaan cara lain (Fisik mekanik dan Agens hayati) yang ramah lingkungan masih sangat kurang, karena teknologi pengendalian ulat grayak yang ramah lingkungan yang ada, petani anggap belum bisa menyaingi pestisida. Hal ini menimbulkan dilema akan residu pestisida terhadap hasil produksi sebagai bahan pangan, karena pada umumnya serangan ulat grayak terjadi pada saat tanaman menjelang panen.
Pemanfaatan agens hayati merupakan alternatif yang perlu dikembangkan untuk pengendalian hama ulat grayak,terutama dari golongan Cendawan, Nematoda, Bakteri maupun Virus. Dan pada saat ini pemanfaatan nematoda entomopatogen telah menjadi alternatif yang sangat potensi untuk dikembangkan karena reaksi kerjanya sangat cepat sebagai mana pestisida. Dari percobaan yang dilakukan oleh Uhan ( 2002 ) bahwa Nematoda entomopatogen Steinernema capocapsae efektif terhadap larva S.liturapada tanaman cabai dan penelitian yang dilakukan Subagiya (2005), nematoda entomopatogen dapat digunakan mengendalikan, C. binotalis, S. lituradan P.xylostella pada tanaman kubis. Dengan estimasi semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama inkubasi menyebabkan semakin tinggi kematian ulat C. binotalis, S. litura dan P.xylostella. Pemanfaatan nematoda, dalam jangka panjang berpotensi untuk dikembangkan, kerena selain mudah dikembangbiakan, memiliki kemampuan menginfeksi yang tinggi dan aman terhadap lingkungan (Amelia, 2006). Demikian pula Nugrohorini dkk (2004) menyatakan, bahwa nematoda entomopatogen disamping efektif terhadap P. xylostella juga merupakan insektisida yang ramah lingkungan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi nematoda entomopatogen Steinernema sp yang tepat (efektif dan efisien) untuk digunakan sebagai pengendali larva S. Mauritia.
1. 3 Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai salah satu teknologi pengendalian larva S. Mauritia. yang efektif dan ramah lingkungan dan sebagai acuan penentuan rekomondasi konsentrasi aplikasi yang efektif dan efisien.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ulat Grayak (Spodoptera mauritia. (Boist) )
2.1.1 Kalasifikasi dan daerah sebaran
S. mauritia (Lepididoptera, Nuctuidai ) merupakan salah satu serangga hama penting pada tanaman padi. Dengan klasifikasi menurut Mujiono, dkk, (1991) sebagai berikut Golongan; Animalia, Filum; Atropoda, Sub. Filum; Mandibulata, Kelas; Insekta, Sub. Kelas; Pterygota (mandibulata), Ordo; Lepidoptera, Famili; Nuktuidai; Genus; Spodoptera, Spesies; Spodoptera mauritia. Serangga ini tersebar hampir di seluruh dunia dan didaerah pasifik.
2.1.2 Bioekologi
Ngengat S. mauritia bertelur + 1.500 butir diletakan dibawah permukaan daun dan rerumputan, secara berkelompok dengan jumlah 50 – 400 butir, ditutupi lapisan lilin berbentuk bulu kelabu kecoklatan. Setelah menetas, larva bermigrasi ketanaman padi atau tanaman lainnya. Ulat muda berwarna hijau muda dengan bagian samping putih kekuningan dan pada punggungnya terdapat garis-garis. Ulat dewasa berwarna coklat tua, dan disetiap ruas terdapat bercak hitam berbentuk bulan sabit, pada bagian samping terdapat garis-garis membujur dengan tepi sebelah atas berwarna kemerahan. Perkembangan dari telur sampai ngengat + 29 – 31 hari. Serangan hama ini umumnya terjadi pada musim hujan, namun kadang-kadang terjadi pula pada musim kemarau (Rukmana. dan Saputra, 1997).
Telur S.mauritia diletakan secara berkelompok pada permukaan bawah daun padi atau rerumputan rata-rata 100 butir, ditutupi sisik warna kelabu. Larva yang baru muncul sangat aktif bergerak sambil makan dengan cara meraut begian hijau daun pada ujung daun dan beristirahat pada tepi daun muda yang digulung sehingga tidak muda ditemukan. Larva menggulungkan diri pada tanaman dengan benang sutra, dan dalam keadaan istirahat larva berbentuk huruf “C”. Stadium larva + 22 hari yang terdiri dar 5 instar. Pupa terbentuk dalam tanah, pada lahan lembab atau diantara rerumputan sekitarnya. Imago berwarna hitam kelabu sayap depan berwarna coklat kelabu dilengkapi bercak coklat gelap dan kuning gelap, dan satu garis kelabu dekat pinggir bercak ( Anonim, 2003).
Tanaman inangnya adalah tebu, jagung, gandum, sorghum, kacang hijau, tembakau, kubis dan berbagai jenis rerumputan ( Anonim, 2003 ).
2.13. Gejala serangan dan kerusakan
Larva S. mauritia sering merusak dalam jumlah besar. Tanaman yang diserang daunnya akan habis sehingga tinggal tulang daunnya (Mudjiono, dkk., 1991). Ulat grayak juga merusak tanaman dengan memotong pesemaian atau dengan memotong leher malai setelah fase pembentukan malai. Ulat tersebut memakan bagian atas tanaman pada malam hari dan berpindah kebagian bawah batang pada waktu siang ( Gellagher dalam Anonim, 1992).
Secara umum penyerangan pada awal fase vegetatif tidak mengakibatkan kerusakan nyata, sehingga ambang pengendaliannya tinggi. Tetapi pada fase awal pembentukan malai, pengurangan luas daun dapat menurunkan jumlah energi yang tersedia bagi perkembangan malai terutama jumlah bulir, yang akan mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup besar, sehingga pada fase pembentukan malai ambang pengendaliannya rendah (Gellagher dalam Anonim, 1992).
2.3 Nematoda Entomopatogen
Nematoda parasit pada serangga cukup banyak (Van Zwaluenburg 1928 dalam Steinhaus 1949), terdapat 759 spesies serangga yang tergolong kedalam 16 ordo diketahui berassosiasi dengan nematoda. Nematoda tersebut dikelompokan atas lima kelompok yaitu (1) Parasit primer (2) parasit sekunder, (3) endoparasit, (4) ektoparasit dan (5) komensal (Steinhaus, 1949). Supramana ( 2006 ) mengungkapkan bahwa hubungan nematoda dan serangga adalah sebagai parasitisme dan patogenesis. Dari 23 famili nematoda, 7 famili yang beranggotakan spesies yang potensial sebagai pengendali biologi serangga hama, famili Mermitidae, Tetradonematidae (Stichosomida), Allantonematidae, Phaenopsitylenchidae, Sphaerulariidae (Tylenchida), Heterorhabditidae dan Steinernematidae (Rhabditida). Species anggota Heterorhaditidae dan Steinernematidae dikenal sebagai nematoda entomopatogen yang dapat membunuh serangga dalam 1 – 4 hari. Hal ini terjadi kerena adanya simbiosis mutualistik antara nematoda dengan bakteri Photorhabdus (Heterorhabditid) dan Xenorhabdus (Steinernematid) dan telah dikenal sebagai insektisida mikroba dan sudah dijual secara komersial.
2.2.1 Klasifikasi Steinernama. Sp.
Diskripsi taksonomi nematoda Steinernema menurut Johny (2001) adalah sebagai berikut: Filum; Nematelminthes, Kelas; Secermentae, Ordo; Dorylaimida, Famili; Steinernematidae, Genus; Steinernema, Spesies; Steinernema sp.
2.2.2 Bioekologi Steinernema sp
Nematoda Steinernema paling banyak terdapat di tanah. Selain itu juga, mampu hidup di permukaan daun, di tempat-tempat yang banyak mengandung bahan organik, di air tawar dan air laut. Di dalam tanah, nematoda hidup dengan cara memanfaatkan bahan organik atau memakan serangga-serangga atau organisme lain. Di dalam tubuh serangga nematoda dapat berkembang biak dengan cepat sampai menghasilkan 2 sampai 3 generasi. Siklus hidup nematoda dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu kurang lebih 14 hari. Apabila terdapat nutrisi yang melimpah siklus hidupnya bisa lebih cepat lagi dan sebaliknya apabila tidak tersedia nutrisi yang cukup maka daur hidup nematoda bisa lebih lama. Organisme ini bisa bertahan di dalam tanah, dengan cara inaktif dalam waktu tertentu dan akan melakukan migrasi ketempat lain apabila tidak ada persediaan makanan yang cukup. Perpindahan nematoda dari suatu tempat ketempat lain bisa dilakukan secara pasif dengan bantuan air, angin atau terbawa oleh alat-alat pertanian. Gerakan aktif nematoda sangat lambat dan ditempuh dengan waktu yang cukup panjang ( John, 2001)
Supramana ( 2006), siklus hidup nematoda entomopatogen, juvenil infektif (JI) dari kedua genus sama , hidup bebas dalam tanah. Dalam tubuh serangga inang generasi pertama Neoplectana (Steinernema) adalah populasi amfimiktik (berkembangbiak secara kawin), sedangkan pada Heterorhabditis adalah hermafrodit. Pada Neoplectana, juvenile berkembang dalam tubuh induknya, dan bila masih tersedia makanan akan membentuk generasi 2 amfimiktik. Pada Heterorhabditis, generasi 2 adalah amfimiktik dengan jantan yang jauh lebih kecil. Jufenil berkembang menjadi fase infektif dan kembali hidup bebas dalam tanah.
Sofa (2008), siklus hidup Steinernema dan Heterorhabditis dimulai ketika juvenile infektif mencari inang. Nematoda menggunakan CO2 dan senyawa kimia lain dari produk sisa serangga sebagai pertanda untuk menemukan inangnya. Nematoda akan menembus rangga tubuh serangga yang ditemukannya melalui mulut anus dan spirakel. Heterorhabditis dapat masuk dengan menembus dinding tubuh inang didalam rongga tubuh, bakteri yang bersimbiosis dengan nematoda akan dilepaskan. Bakteri segera memperbanyak diri, mengakibatkan septisemia dan membunuh inang dalam waktu 24 sampai 48 jam. Nematoda berkembang dengan memakan bakteri dan jaringan inang hingga mencapai dewasa. Nematoda menyelesaikan 2 atau 3 generasi didalam setiap serangga. Juvenil invektif Steinernema sp, akan menjadi jantan atau betina. Juvenil Heterorhabditis akan berkembang menjadi hemaprodit, meski generasi selanjutnya akan menghasilkan jantan dan betina juga. Daur hidup diselesaikan dalam beberapa hari, dan ribuan juvenile infektif baru akan muncul mencari inang yang segar.
2.2.3 Cara Menyerang Inang
Nematoda masuk kedalam tubuh serangga melalui lubang tubuh alami seperti spiracle, anus, atau termakan oleh larva serangga. Setelah berada di dalam tubuh larva, nematoda langsung melepaskan bakteri simbiosisnya kedalam usus larva serangga. Bakteri inilah yang membunuh larva dengan cara mengeluarkan zat yang bersifat antibiotik atau racun terhadap serangga. Dalam waktu 1 – 2 hari larva mati. Larva yang mati biasanya ditunjukkan dengan gejala yang khas tergantung warna permukaan tubuh ulat. Ulat hongkong yang terserang nematoda ini menunjukkan gejala warna tubuh coklat kehitaman, tubuh lembek dan sedikit mengeluarkan cairan. Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk nematoda menghasilkan 2 - 3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan cara keluar dari tibuh larva dan mencari inang lain (Johny, 2001)
Proses pemilihan inang ( host selection) pada nematoda entomopatogen terdiri atas empat tahap, yaitu penemuan habitat inang, penemuan inang, penerimaan inang, dan kesesuaian inang. Setelah inang ditemukan, dikenali dan diinfeksi, nematoda harus mampu mematahkan respons kekebalan inang dengan protein anti kekebalan yang dihasilkannya (Sofa, 2008). Faktor –faktor yang mempengaruhi keefektifan nematoda entomopatogen diantaranya adalah a) strategi menyerang inang (menjelajah atau menunggu), b) kemampuan melakukan penetrasi, c) kerja sama dengan bakteri simbionnya, d) fisik lingkungan (suhu dan kelembaban) dan e) energi cadangan nematoda (Trisawa, 2007).
Mekanisme patogenitas nematoda pathogen serangga (NPS) terjadi melalui simbiosis dengan bakteri pathogen Xenorhabdus untuk Steinernema dan Photorhabdus untuk Heterorhabditis. Infeksi NPS dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenile infektif (JI) terjadi melalui mulut, anus, spirakel, atau penetrasi langsung membran intersegmental integument yang lunak. Setelah mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan kedalam haemolim untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin yang mematikan serangga. NPS sendiri juga mampu menghasilkan toksin yang mematikan. Dua faktor ini yang menyebabkan NPS mempunyai daya bunuh yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi NPS dapat mati dalam wakti 24 - 48 jam setelah infeksi (Anonim, 2008)
2.2.4 Kisaran Inang Steinernema
Nematoda Steinernema . memiliki kisaran inang yang sangat luas baik hama yang menyerang tanaman perkebunan , hortikultura maupun tanaman pangan. Untuk hama tanaman perkebunan yang telah berhasil dikendalikan dengan nematoda Steinernema antara lain Helopeltis sp pada tanaman kakao ( Ade, 1997; dalam Johny, 2001). Steinernema juga mampu mengendalikan hama yang menyerang tanaman diantaranya, Spodoptera exigua dan Spodoptera litura (Bawang merah), Croccidolomia binotalis dan Plutela xylostella (Kubis), Helicoverpa armigera (Tomat) sedangkan hama tanaman pangan yang dapat dikendalikan oleh organisme ini adalah hama putih ( Nimpula depuntalis),Corcira cepkalonika ( Johny 2001) . Menurut Anonim. (2008) NPS telah terbukti efektif mengendalikan penggerek batang padi, hama lanas (Cylas formicarius), Lyriomyza sp, ulat grayak (Spodoptera litura), penggerek tongkol jagung (Ortrinia furnacalis), ulat kantong, dan penggerek polong kedelai (Etiela zinkenela).
2.2 Hipotesis
Aplikasi nematoda entomopatogen untuk pengendalian S.mauritia pada tanaman padi dengan konsentrasi yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap mortalitas S. mauritia.III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2009 sampai Pebruari 2009, Tempat pelaksanaan di Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Tanaman Pada Kantor Balai Perlindungan Pertanian Perkebunan dan Peternakan Propensi Sulawesi Tengah di Biromaru. Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi Propensi Sulawesi Tengah.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa Mikroskop, Cawan Petris, Pinset, Pipet, Stoples, Ember, Sunkup kasa, Kertas saring, Ulat grayak S.mauritia Ulat bambu ( Tenebrio molitor) , Nematoda entomopatogen, Pot Steinernema sp strain lokal, Bibit Padi dan Alat tulis menulis
3.3 Metode penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dalam dua tempat yaitu uji laboratorium dan Uji lapangan di dalam pot pertanaman dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Yang terdiri dari 5 perlakuan yang di ulang sebanyak 4 kali sehingga terdapat 20 unit percobaan adapun susunan perlakuan sebagai berikut :
Po = Kontrol 0 JI / 2 ml air / unit ulangan
P1 = Nematoda konsentrasi 500 JI / 2 ml air / unit ulangan
P2 = Nematoda konsentrasi 1000 JI / 2 ml air / unit ulangan
P3 = Nematoda konsentrasi 2000 JI / 2 ml air / unit ulangan
P4 = Nematoda konsentrasi 3000 Jl / 2 ml air / unit ulangan
Setiap percobaan mengunakan 10 ekor larva ulat grayak instar 3 - 4 Indikator pengamatan persentasi mortalitas dan larva yang berhasil menjadi pupa. Data hasil pengamatan diolah dengan analisa ragam. Secara matematik ditulis
Xij = µ + Ti + Eij.
Keterangan :
Xij = Nilai pengamatan Perlakuan Ke-I dan ulangan Ke j.
µ = Rata rata Umum
Ti = Pengaruh Perlakuan Ke i
Eij = Galat
Data yang menunjukan perbedaan dianalisa dengan menggunakan Uji BNJ(0,05)
3.4 Pelaksanaan
3.4.1 Persiapan Nematoda entomopatogen (Strain Lokal)
a. Explorasi Nematoda dari tanah
- Pemerangkapan nematoda entomopatogen dari dalam tanah dilakukan dengan menggunakan ulat bambu atau ulat hongkong ( Tenebrio molitor) dengan langkah -langkah sebagai berikut. Cari lokasi yang diperkirakan banyak nematoda entomopatogennya, kemudian ambil tanah yang lembab sebanyak + 150 ml masukan dalam wadah plastik yang kemudian dimasukan 5 – 10 ekor ulat bambu, Kemudian wadah dibalik sehingga ulat Bambu terkubur tanah, selanjutnya diinkubasikan pada suhu ruangan selama 3-4 hari, kemudian bangkai ulat bambu diambil lalu dibilas dengan aquades untuk selanjutnya diproses dengan perangkap white.
b. Perangkap White (White Trap ) dan Seleksi
-Tutup cawan Petri ( 100 X 15 mm) diletakan secara terbalik didalam Cawan Petri yang lebih besar ( 150 x 25 mm ) yang kemudian diatasnya dialas dengan kertas saring, kemudian bangkai ulat bambu disusun secara melingkar diatasnya.
-Tambahkan air kedalam cawan petri hingga menyentuh kertas saring, dan tetesi kertas saring dengan air hingga hertas dibawah bangkai ulat bambu, ikut basah.
- Inkubasikan perangkap white ditempat gelap pada suhu
ruangan.
- Juvenil Infektif nematode entomopatogen akan muncul dari bangkai ulat (5 –10 hari) kemudian dan bergerak kedalam air.
-Nematoda yang telah berada dalam air dikumpulkan dan dicuci selanjutnya di seleksi untuk mendapatkan jenis Steinernemasp untuk kemudian dilakukan perbanyakan.
c. Perbanyakan Nematoda Entomopatogen Steinernema sp
-Dalam penilitian ini, untuk memenuhi kebutuhan nematoda entomopatogen diperbanyak dengan menggunakan ulat larva S. mauritia dengan langkah kerja sebagai berikut; 2 lapis kertas saring di alaskan pada dasar cawan petri, kemudian disiramkan 2- 3 ml suspensi nematoda ( 1000 – 5000 Ji) , kertas saring harus basah dan tidak menggenang.
-Masukan larva S.mauritia 5 - 15 ekor, selanjutnya di inkubasikan pada suhu ruangan. Larva S.mauritia akan mati 2 - 3 hari setelah inokulasi. kemudian diproses kembali dengan perangkap white.
3.4.2 Pengambilan dan Perbenyakan Larva S. mauritia
- Larva S. mauritia di kumpulkan dari lapangan ( pertanaman padi),
sejumlah kebutuhan, kemudian dipelihara hingga menjadi imago ( ngengat) dan bertelur.
-Telur-telur yang diporoleh di pelihara dalam sungkup hingga menetas kemudian larvanya di pelihara sampai instar yang di inginkan yaitu instar 3.
3.4.3 Persiapan Plot Perlakuan Uji Laboratorium
- Toples transparan diameter 20 cm tinggi 10 cm sebanyak 20 buah disiapkan dan disusun di atas meja sesuai rancangan acak lengkap.
- Pada setiap dasar toples dilapisi dengan 2 lapis kertas saring dan penutup toples dibuatkan jendela yang kemudian ditutup dengan kain kasa.
- Kemudian kedalam setiap toples dimasukan larva ulat S.mauritia instar 3 sebanyak 10 ekor dan kemudian diaplikasi dengan nematoda entomopatogen dengan konsentrasi sesuai perlakuan dan kemudian larva dipelihara sebaik-baiknya.
3.4.4 Pengenceran dan Aplikasi
- Untuk mendapatkan jumlah nematoda yang akan di aplikasikan pada setiap perlakuan, terlebih dahulu dilakukan pengenceran dengan air steril.
- Pengenceran nematoda dilakukan secara bertahap untuk mempermuda menghitung jumlah nematoda yang akan di aplikasikan pada setiap perlakuan. Jumlah nematoda dari setiap tahap pengenceran dihitung langsung dibawah mikroskop, kemudian di konversi kedalam 2 ml larutan
- Aplikasi nematoda pada setiap unit percobaan dilakukan dengan cara tetes menggunakan pipet sebanyak 2 ml larutan.
3.4.5 Variabel Pengamatan
- Setelah aplikasi dilakukan pengamatan pada setiap unit percobaan selama larva masih hidup atau setelah larva berhasil menjadi kepompong, interval pengamatan dilakukan setiap 24 Jam ( tiap hari)
- Parameter yang diamati pada percobaan ini adalah presentasi kematian larva S.mauritia. Larva yang mati dihitung dengan menggunakan rumus;
P = Po - Pc x 100 %
Po
Keterangan :
P = Persentasi kematian larva
Po = Jumlah Larva yang Masih hidup pada Kontrol
Pc = Jumlah Larva yang masih hidup pada Perlakuan
- Larva yang menjadi Pupa dihitung menggunakan rumus
Pp = Jumlah larva yang menjadi pupa x 100 %
Jumlah larva yang di uji
................. bersambung untuk hasil dan pembahasannya..
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar